Minggu, 15 November 2020

Mengapa Mahasiswa Asal Mesir Lebih Terbuka dari Mahasiswa Timteng Lainnya?


Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Mesir berstatus mahasiswa. Lika liku perjalanan sebagai mahasiswa pas-pasan sudah hampir usai ku lalui. Di titik hampir menyelesaikan pendidikan strata S1 ini, tentunya banyak hal terlintas begitu saja menilai apa yang sudah terlewatkan. Tidak menutup pandangan, terkadang aku membandingkan kawan seangkatan dan yang sama mempelajari diskursus agama tentang apa yang telah mereka lalui dan tentunya output yang sama-sama dapat terlihat.

Banyak kalangan beranggapan membanding-bandingkan hanya akan memberikan dampak negatif, menunjukan perbedaan, mengacu pada perpecahan. Padahal jika melihat dari apa yang dipelajari, pelajar Islam di Timur Tengah harusnya bersatu dan memberikan titik terang yang seragam dalam melihat Islam. Wong, gurunya sama-sama arab, qurannya juga sama, hadisnya juga Sahih Bukhari-Muslim kenapa harus berbeda sudut pandang? Sekilas itu mungkin harapan umat di Indonesia, tapi kenyataannya...

Benar sekali kenyataannya tidak semanis harapan, hal ini tentunya karena berbagai hal. Sejak masa keruntuhan Dinasti Ottoman, praktis dunia Islam memang sudah terpecah, bahkan jauh sebelumnya kerajaan-kerajaan kecil di dunia Arab sudah mulai berdiri. Jadi kata kunci pertama adalah, dunia Arab memang secara geografis satu, begitu pun bahasa resmi, akan tetapi secara sosio-politik dan sudut pandang corak keagamaan dunia Arab kerap berbeda. Perbedaan ini yang tidak jarang mempengaruhi banyak mahasiswa asing yang belajar di dunia Arab.

Mesir sebagai salah satu negara timur tengah yang juga berseberangan dengan berbagai peradaban kuno macam Yuni, Romawi dan Mesir kuno itu sendiri memberikan corak tersendiri bagi sistem pendidikannya sendiri. Bisa jadi hal ini membuat, bahasa kedua dan ketiga negara ini adalah Prancis kemudian Inggris. Kami yang kuliah di Universitas Al Azhar sendiri diberikan pilihan untuk memilih mata kuliah bahasa asing, bisa Inggris atau Prancis. Tentunya pembaca akan dapat memastikan, hampir tiada seorangpun yang akan memilih bahasa Prancis.

Dari sisi peradaban arsitektur Mesir termasuk negara yang menjaga situs-situs bersejarahnya dengan baik. Karena itu masih banyak sekali ditemukan Istana yang telah dialih fungsikan sebagai musium, rumah ibadah kuno, dan banguna-bangunan peting lainnya. Di sekitar Kairo masih sering kita lihat bangunan-bangunan yang Instragamable kegemaran Mahasiswa Indonesia kalau lagi plesiran, setahu ku daerahnya di sekitar Down town, Kairo lama dan di sekitar Cornish, atau pinggir sungai Nil. Di lokasi tadi banyak peninggalan bangunan yang menunjukan beragam macam corak peradaban yang pernah singgah di Mesir seperti peradaban Mamalik, Fathimiyyah, dan masa Imperium Inggris dan Prancis.

Kawasan Cornish, tepat di sisi sungai Nil.

 
Kawasan Down town, Kairo.

Saya rasa sudah cukup menilik sekilas tentang bagaimana corak peninggalan berbagai penguasa di Mesir. Anda sendiri dapat mengunjunginya untuk memastikan. Selain itu dari sisi lain, Aku memiliki seorang teman yang pernah merasakan mengambil kursus bahasa Inggris di American University, salah satu kampus elit yang ada di Mesir. Teman ku yang lainnya punya majlis mingguan khusus membahas pemikiran tokoh-tokoh Islam dunia kontemporer di daerah Zamalek. Dan teman yang lainnya senang mengunjungi Rumah Opera Mesir, salah satu pusat seni budaya Mesir dan dunia Timur Tengah.Teman-teman ku itu, tidak lain dan bukan sama seperti ku, mahasiswa Universitas Al Azhar.

Kami di Al Azhar secara wawasan memang diberikan keleluasaan untuk mengeksplore Islam secara lebih terbuka. Walaupun menganut pembelajaran 4 mazhab dalam diskursus fikih, akan tetapi kami dibebaskan untuk menelaah literatur mazhab lainnya seperti zhahiriyah, zaidiyyah, dan bahkan Isna ‘asyariyyah. Dan walau secara teologi kami menganut asy’ariyyah, tidak jarang pula kami berdiskusi tentang golongan lainnya seperti mu’tazilah, jabriyyah, bahkan tidak jarang menelaah tentang wahabiyyah dan ahmadiyyah sebagaimana yang sedang marak di Indonesia. Seluruh literatur dari berbagai golongan keagamaan yang aku sebut tadi benar-benar dapat diakses dengan mudah, kami diberikan keleluasan untuk melihat sesuatu dari sumber sekaligus menyatakan pendapat sesuai dari apa yang diyakini.

Hampir lupa, aku belum menyebutkan PPMI, organisasi kemahasiswaan di Mesir ini sedikit banyak juga memberikan pengaruh pada mahasiswa di Mesir sendiri. Tidak jarang PPMI beserta organisasi yang terkoordinasi di bawahnya untuk menyemarakan dan mempromosikan budaya Indonesia. Kami di sini bisa membuat sanggar tari, perguruan silat dan bahkan hanya untuk sekedar nonton bareng Timnas sepak bola Indonesia bermain. Penanaman pendekatan budaya seperti aku sebutkan di atas tadi seakan menjadi ajaran tersirat yang telah difahami oleh mahasiswa asal Mesir itu sendiri.

Teman, mungkin kalian menunggu aku menyebut peran dari Al Azhar sendiri, kan? Aku rasa hal ini tidak perlu dibahas lagi, dunia telah mengetahui bagaimana Al Azhar mendidik anak-anaknya. Toleransi, moderasi, dan keseimbangan adalah di antara pokok ajarannya. Perannya di kancah dunia dalam menyelenggarakan dialog keagamaan dan merekonsiliasi agama Islam dan agama lainnya adalah contohnya. Namun aku dapat katakan itu bukan lah satu-satunya faktor, beberapa hal yang aku sebutkan di awal tadi adalah di antara faktor pendukung yang menjadikan mahasiswa Indonesia asal Mesir jarang yang memiliki sumbu pendek. Mereka senang untuk melihat sesuatu bersama, merangkul dan berdialog untuk memecahkan sebuah problematika keummatan.      

Kondisi keberagaman yang kami alami di Mesir ini sedikitnya memberikan alasan kuat mengapa mahasiswa asal Mesir lebih terbuka. Aku sendiri tidak mengatakan bahwa kawan-kawan yang menimba ilmu di dunia arab lainnya tidak terbuka, akan tetapi kenyataannya beberapa kawasan di dunia arab saat ini memang sedang kurang baik, baik karena perang saudara atau pun karena perang menumpas terorisme. Di lain sisi, jika terdapat satu negara aman, namun corak pemikirannya nampak terbatas dan kurang diberikan keluasan menelaah gudang literatur Islam. Kedua faktor tadi tidak kurang pasti akan memberikan pengaruh negatif bagi alumni-alumninya.

Jadi, kalau pembaca nemuin alumni Timteng asal Mesir masih suka marah-marah karena hal kecil, aku minta maaf ya, mungkin ngajinya bukan di Azhar, talaqqy ilmu-nya bukan sama masyayikh Al Azhar. Dan pastinya, dia jarang hang-out melihat indahnya Mesir!  

Minggu, 09 Februari 2020

Sebuah Catatan Singkat buat Masisir tentang Dirasatphobia



Memasuki tahun yang baru ditambah tahun kedatangan mahasiswa baru pasti bakalan buat sebagian  mahasiswa Indonesia di Kairo sedikit sibuk. dari KPP Maba yang berjasa persiapkan berkas bakal adek-adek masuk DL, atau PPMI dan lainnya yang siapkan agenda-agenda untuk menyambut mahasiswa baru. Ya, saya sedikit mengesampingkan buat kaum rebahan -seperti saya- ya, karena harus kita syukuri juga karena ke-eksistensi-an kaum kami dalam berselancar di atas ombak pantai Kapuk, bakalan membuat instansi-instansi di Masisir bakalan putar otak untuk meramu acara-acara dengan satu tujuan: membangunkan “kaum rebahan” dari mimpi panjang demi mengikuti acara-acara mereka. Apa mau dikata, mereka yang sudah memiliki acuan, target dan perhitungan masa depan tentu bukan sasaran dari akhi dan ukhti aktivis-aktivis itu hehe. 

Ok, jujur saya sudah lama ga nulis lagi jadi agak kaku memang. Bukan sok sibuk, tapi pepatah yang berkata “penulis yang baik hadir dari pembaca yang baik”, intinya saya khilaf, kurang menjadi pembaca yang baik di hari-hari yang lalu. Dan hari ini, iman menulis saya lagi naik untuk menulis, jadi saya manfaatkan saja. Di tulisan ini saya cuma ingin berbagi tentang hal yang sebenarnya cukup malas saya ungkap, karena takutnya jika saya mengungkap ini lebih besar dari kesiapan saya menjadi senior bagi ratusan bahkan ribuan orang yang terinspirasi dari tulisan saya nanti. Menjadi senior buat seorang Hudaili Abdul Hamid aja kadang sudah ripuh

Alasan lainnya yang juga melandasi tulisan saya ini adalah pertanyaan dari salah seorang putri Pimpinan pondok saat me-reply status WA saya yang menuliskan: “semoga ini adalah kerneh (Kartu tanda mahasiswa) tahun terakhir, amin.” Yaps, beliau menanyakan apakah tahun ini mahasiswa Indonesia banyak yang masuk fakultas saya, Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab? Sejenak saya berfikir mengapa beliau menanyakan itu, apakah benar fakultas yang saya geluti ini se-begitu sedikit peminatnya ya, sehingga nampak mengenaskan di hadapan anak Ushul sama Syariah. Ya sudah, mari kita bahas deh satu-satu ya, biar adik-adik mahasiswa baru bisa sedikit memiliki alasan untuk ­murtad dari pilihannya, alias tahwil.

Tidak sampai di situ, alasan lainnya saya juga melihat banyak yang memang belum mengenal fakultas lebih dalam ini. Dan juga gencarnya sindrom “Dirasatpfhobia” oleh para senior-senior kurang kerjaan yang menghasut kawan-kawan untuk mengambil fakultas yang Cuma tidur bangun-bangun tahu-tahu udah Lc, Fakultas Tafsir misalnya, hehe. Makanya saya sih ngangguk-ngangguk aja waktu Kak Zaki Arrasyid bilang, “kalau tahu ada fakultas Dirasaat, saya bakal masuk fakultas itu.” Sambil membatin, “orang sekeren antum aja bisa kena sindrom itu, apalagi maba-maba cupu yang belum bisa bedain mana mubtada’ sama khobar, kan?”  

Sebelum saya lebih dalam ke pembahasan kenapa kalian sebaiknya observasi tentang fakultas-fakultas yang mungkin bisa diambil di Al Azhar, baiknya saya perkenalkan secara singkat tentang fakultas ini. Sesuai namanya, fakultas ini akan mengajarkan hampir semua materi-materi keilmuan islam. Dari tata kebahasaan, materi-materi umum seperti: Nahwu, shorf, balaghoh dan adab akan kalian jumpai setiap tahunnya. Juga dari materi syariah ada: fikih mazhab dan ushul fikih, dan materi ushuludin kalian juga bakal menemukan: Tauhid, tafsir dan hadis. Jadi kesimpulannya dalam empat tahun kalian akan menemukan meteri-materi itu akan menghiasi meja belajar, jadi ga bakalan ada alasan buat kalian “ga suka nahwu sorf” atau “ga suka ngafal riwayat hadis.”

Tempat perkuliahan yaitu di bilangan district 6, Nasr City, sebuah komplek perkuliahan yang lebih modern dari komplek yang ada di kawasan Darrosah. Pemandangan dan kondisi gedung perkuliahan juga menurut saya lebih kondusif untuk kegiatan belajar mengajar. Dan tentunya tulisan ini bukan buat kaum rebahan ya, karena walaupun tinggal atas maktabah Andalus, alias rumahnya kawan saya Anizul, kalau memang udah ga niat belajar mah ga akan sampai ke kampus kakinya. Saat rehat sholat Zuhur anda bisa seruput kopi atau teh, dan untuk yang belum sarapan ada banyak varian menu yang bisa dicoba. Saya rekomendasiin Qumbulah Baladi, soalnya murah, banyak lagi.  Jadi ga ada alasan ya untuk mager kuliah, Dekan baru DR Iwadh Ismail, di awal-awal termin satu pernah keliling kelas dan bilang “Ga ada yang bisa buat kalian kuliah kecuali karena cinta pada dosen-dosen dan kampus kalian ini.” Nah kalau dasarnya udah cinta mah semua dilakuin kan, dasar bucin klen.  

Saya kira cukup perkenalan tentang kampusnya, kalau memang tertarik nanti di akhir saya akan sertakan link buat dalil tholib, semacam modul bagi mahasiswa dirasat. Pertama, fakultas saya ini tidak cocok bagi yang telah memiliki kemampuan dasar yang cukup mumpuni sewaktu belajar di tanah air dan telah menentukan spesialisasinya semenjak di Indonesia. Hal ini dikarenakan fakultas saya ini akan “mengulang” sebagian besar pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan di pondok dulu. Saya tidak mengkhususkan pondok modern atau salaf, atau modern-salaf ya, karena saya menganggap dari sisi keuniversalan pengajaran dan materi yang diajarkan, alumni kedua jenis pesantren di Indonesia ini cukup memiliki kans yang besar berprestasi di Universitas Al Azhar. 

Sebaliknya, bagi yang masih memiliki keinginan untuk mengulangi pelajaran-pelajaran di Pondok plus mendapatkan feel yang berbeda dengan referensi dan guru pengajar khas Al Azhar anda bisa mencoba fakultas ini. Jangan khawatir anda tidak akan menemui pengkhususan jalur, karena di strata magister nanti anda bisa memilih akan memasuki dunia keilmuan manapun yang anda minati. Walau terkadang ada yang nyinyir dari kawan-kawan fakultas lain tentang keumuman fakultasnya, jawab aja, “bicit li, kiliih iji jiring-jiring piki ngiciin iring” (bacot lu, kuliah aja jarang-jarang, pake ngecein orang).

Selanjutnya faktor sosial mungkin bisa menjadi landasan terpenting. Kawan saya, Bayanillah pernah mengungkapkan sesuatu kalau gak salah kata-katanya seperti ini: “kyai saya minta untuk mendalami tafsir di Al Azhar. Tapi saya seneng banget sama ilmu alat macam nahwu dan shorf. Setelah saya timbang-timbang saya ambil aja fakultas ini ada semua.” Atau misalkan anda termasuk yang da’i oriented, yang melihat sosok ust Abdul Shomad sebagai role modele azhari sejati, yang mampu menjawab berbagai problematika umat yang bejibun, baik, akidah, ibadah, hingga muamalah, mungkin fakultas ini adalah jawabannya. Jujur, dari pengalaman senior yang sudah menapaki jalan dakwah, umat nampaknya tidak akan menanyakan apa yang anda perdalami di al Azhar, atau apa spesialisasi anda, yang penting adalah anda harus bisa menjawab masalah mereka. 

Poin ini sedikit saya perpanjang ya, dengan ke-universalan materi yang dipelajari di fakultas ini, sudut pandang mahasiswanya juga seharusnya akan lebih luas. Mereka tidak menganggap rendah satu ilmu dengan yang lainnya. Karena pada kenyataannya semua saling berkaitan. Dan bisa membuat anda rasib. Misalnya saja, tafsir. Ilmu ini merupakan ujung dari banyak ilmu seperti ilmu asbab nuzul, makki madani dan ilmu-ilmu Al Quran lainnya. Sekaligus juga menjadi landasan bagi banyak ilmu seperti Ushul Fiqh dan fiqh. Mungkin tidak heran dalam sebuah acara IKPM di Aula Kemass (sebuah aula milik mahasiswa asal Sumatera Selatan) Bapak Usman Syihab, Atdikbud KBRI Kairo mengatakan, “Kalian perlu untuk menekuni spesialisasi (takhossus), maka dari itu minimalisir pengajian di luar perkuliahan. Dan untuk tambahan kalian bisa mengambilnya di Masjid Al Azhar. Kecuali kalian mengambil jurusan Dirasaat Islamiyyah.

Tidak sampai di sana, dengan keluasan dan keluwesan fakultas ini, kalian mungkin untuk menelaah berbagai literatur tanpa perlu mengernyitkan dahi akibat tidak memahami istilah-istilah ilmu itu. Karena minimal, saya bilang minimal ya, mabadi ‘Asyrah atau sepuluh asas keilmuan islam dari suatu cabang ilmu Islam akan kalian fahami. Beda tentunya kalau kalian ikuti arahan Ulama kenamaan Suriah, alumni Al Azhar, Ramdhan Sa’ed Al Buthy, “Empat tahun cukup bagi kalian  belajar di Al Azhar, jika diktat beserta catatan kakinya kalian baca dan teliti.” Itu dari satu sisi, sementara di lain hal, bahan obrolan kalian dengan dedek-dedek atau kakak-kakak dari berbagai jurusan dijamin ga akan habis, diajak ngomongin aqidah berkaitan sifat-sifat Tuhan ok, atau tentang penyair-penyair Rasul macam Hasan bin Tsabit dengan Banat Su’ad yang masyhurnya juga ayo, atau untuk diajakin ngobrolin hukum nikah bagi jomlo-jomlo di perantauan juga hayuk! Walau sependek penglihatan saya, banyak dari kalangan mahasiswa Dirasaat sendiri kurang menyadari hal ini.

Maksudnya, mereka telah dianugerahi waktu dan kesempatan besar mencicipi banyak rasa keilmuan Islam, namun karena sejak awal sudah sangat menggemari akidah (misalnya), ia kurang memperhatikan pelajaran lainnya, sehingga tidak jarang hal ini menjadi batu sandungan bagi mereka dan merana karena pada akhirnya nilai yang keluar tidak sesuai dengan yang diharapkan.  Bahkan tak jarang menjadi sebab dari ke-rasib-an yang berulang tiap tahunnya. Dalam hal ini saya jadi ingat pesan bapak al marhum, Prof Ing BJ Habibie saat diwawancarai oleh Najwa Shihab terkait materi yang kurang diminati, intinya beliau mengatakan bahwa tanggung jawab kita adalah -paling tidak- wajib lulus, walau dengan nilai seadanya, dan berprestasi di bidang yang diminati.

Ada satu hal lagi yang ingin saya tulis, walau bagian ini belum begitu saya yakini kegunaannya. Fakultas ini semenjak beberapa tahun yang lalu telah terakreditasi oleh pemerintah Mesir, sebuah hal yang tentunya jarang dimiliki oleh fakultas lain. Fakultas Ushuludin, bahkan saya dengar baru tahun kemarin berbenah karena ingin mencoba mendapatkan akreditasi. Hal ini memang tidak aneh, mengingat penilaian akreditasi suatu fakultas akan mencakup banyak hal di antaranya: Kecakapan dosen, administrasi fakultas, prestasi murid hingga fasilitas. Kalau kecakapan dosen tentunya saya tidak meragukan, akan tetapi aspek lainnya nampaknya sangat perlu untuk ditinjau kembali guna diadakan pembenahan.

Buat yang belum ngerti apa itu akreditasi, akreditasi merupakan salah satu bentuk sistem jaminan mutu eksternal, yaitu suatu proses yang digunakan lembaga yang berwenang dalam memberikan pengakuan formal bahwa suatu institusi mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan tertentu. Dengan demikian, akreditasi melindungi masyarakat dari penipuan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Walau belum tahu bagaimana kriteria pasti dari kementrian Pendidikan Tinggi dan Riset Mesir, paling tidak ini menjadi sedikit acuan pelengkap bagi yang memperhatikan aspek formal seperti ini. Bagi saya, hal seperti ini tidak terlalu diambil pusing. Menjadi mahasiswa yang hadir tiap hari ke kuliah aja sulit. Untuk apa memikirkan hal  yang memang bukan menjadi urusan kita kan? 

Sampai sini, saya sebenarnya ingin mengakhiri, tapi biarlah saya bisiki kalian yang sedang atau akan memilih fakultas ini, jangan pernah khawatir empat tahun kalian akan sia-sia. Berprasangka baiklah pada Allah Swt bahwa ini adalah jalan terbaik untuk memahami agama-Nya. Sebagaimana yang kita sama-sama fahami bahwa Islam adalah the way of life, dan kehidupan terdiri dari unsur-unsur dari etika (akhlak), keyakinan (akidah) dan serta ibadah dan pergaulan (fikih). Dan kalian akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari ilmu-ilmu itu untuk diamalkan dalam hidup. Saya kira, cukup catatan singkat saya tentang fakultas tempat saya menimba ilmu. Tak yakin ada manfaatnya, tapi tak baik juga jika dipendam kan? 

Kamis, 05 September 2019

Saya dan 4 Tahun Tinggal di Darrosah

9 September, 2015, saat tiba di Ardhul Kinanah


"Catatan singkat ga penting-penting amat tentang lingkungan tempat saya tinggal."

Saya ditakdirkan untuk tinggal di Darrosah. Hingga kini, atau tepatnya tiga tahun, sebelas bulan. Kurang beberapa hari lagi tepat 4 tahun saya bertempat tinggal di Darrosah, sebuah muhafazah, wilayah setingkat kecamatan di pinggiran kota Kairo, Mesir. Sebuah daerah yang kaya akan nilai sekaligus  situs sejarah, karena diapit oleh dua masjid kebanggaan rakyat Mesir. Masjid Al Azhar dan Masjid Sayyidina Husein. Dua masjid fenomenal yang masing-masing menggambarkan peradaban yang saling menguatkan. Masjid Al Azhar menggambarkan keilmuan, dan Masjid Sayyidina Husein menggambarkan akhlak Islam, cinta Ahlul Bait. Keduanya mampu saya tempuh sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Semuanya berawal dari request saya pada Fahri Ganiardi, kakak kelas di Gontor dulu. “Ri, pokoknya gw pengen Flat deket kampus. Tempatin gw di sana! Karena kedekatan kami, dan status Fahri yang saat itu menjadi senior di IKPM Kairo, keinginan saya pun terkabul. Alasan saya ingin bertempat tinggal di sana  sebenarnya klasik, yaitu ingin lebih dekat dengan dunia akademik, karena saat itu perspektif mahasiswa Al Azhar yang urakan dan lebih banyak main masih menempel di kepala saya. Walaupun sempat terganggu dengan kata-kata Fahri yang mendeskripsikan lingkungan dekat perkuliahan dengan kumuh dan kotor, bagi saya itu masih lebih baik daripada projek tahun pertama saya tinggal di Mesir banyak terganggu.

Saya akhirnya tiba di Mesir pada tanggal 9, bulan September, tahun 2015, di Terminal 1 lama. Dan perjalanan pun dimulai. Saya masih ingat, saat itu musim panas memang sedang puncak-puncaknya. Saya lebih fokus pada penyesuaian badan dengan iklim dan cuaca yang baru daripada menelaah hal lain dari lingkungan tempat saya tinggal. Satu hal yang belakangan baru saya sadari adalah, saya tinggal di lingkungan semi industri, di mana pabrik-pabrik mikro home industri tersebar dan menjamur di sana. Hal ini tentunya tidak terlepas dari letaknya sebagai penyangga dua pasar besar di sekitarnya, yaitu Khan Khalili (pusat oleh-oleh termasyhur di Mesir) dan pasar Attaba (pasar tradisional warga Kairo).

Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan flat yang dikelilingi pabrik sepatu dan pernak-pernik oleh-oleh tentunya. Namun realita itu membuat saya terpaksa mengakui bahwa sampah dan limbah industri tentunya akan menjadi makanan mata sekaligus parfum memuakkan sehari-harinya. Belum lagi kebiasaan penduduk daerah ini terbilang kurang terdidik untuk bersih. Berbagai macam sampah,  baik daur ulang maupun tidak dapat didaur ulang, hingga maaf, sampah yang seharusnya tidak layak dibuang tanpa bungkusan seperti pembalut wanita atau pampers bekas bayi  selalu menjadi pandangan sehari-hari berceceran di jalanan.

Pada tahun 2018 lalu sebenarnya pemerintah setempat sempat mengkampenyekan sebuah gerakan kebersihan bertajuk “khallik zay aadam, matirmisy hagah alal ardh.” Gerakan ini kurang lebih berarti ‘jadilah dirimu seperti nabi Allah Swt Adam, yang memulai peradaban kebaikan di dunia. Jangan merusaknya dengan cara membuang sampah sembarangan.’ Gerakan ini bersambut dengan dimunculkannya puluhan tempat sampah plastik berwarna hijau yang ditempel di pinggir-pinggir jalan besar. Dapat anda  tebak tentunya, kesadaran pemerintah tidak dibarengi dengan kesadaran warga, sehingga tempat sampah itu tidak lama hilang ditelan zaman. Sebagian dicuri, sebagian lagi rusak oleh tangan jahil warga.

Gerakan tersebut hanyalah isapan jempol sesaat. Tentu tak berdampak ke flat-flat sewaan kami, yang jauh masuk ke dalam haarat-haarat (seperti gang) kecil. Mungkin banyak mahasiswa overseas memilih lingkungan ini sebagai tempat tinggal karena dekat dengan aktivitas perkuliahan, baik formal maupun non formal. Kebetulan kampus utama universitas Al Azhar juga berada di lingkungan ini dengan tiga fakultas pamungkasnya, Ushuludin, Syariah dan Bahasa Arab. Walaupun hal itu tidak berlaku bagi saya yang ngampus di bilangan district 6. Namun bagi saya yang sudah lima kali pindah flat dalam lima tahun alasan klasik itu bagai pekat bau kotoran anjing yang saya hirup hampir tiap hari. Sekejap tajam, namun segera hilang.

Mengapa klasik? Simpelnya, karena saya tau alasan seperti ini harus ada masanya, dan sebaiknya dirasakan sejak awal. Roda kehidupan akan terus berjalan. Maksud saya, di masa depan, kawan-kawan baru tentunya akan menggantikan posisi saya sebagai mahasiswa Al Azhar. Dan alasan klasik seperti dekat dengan kampus sekarang tidak lagi bisa meligitimasi Anda untuk tinggal di Darrosah. Karena banyak pula mahasiswa Indonesia di luar lingkungan ini yang intensitas kehadiran kuliahnya melebihi kawan-kawan saya yang memang sehari-harinya memandang kampus dari jendela flat mereka.

Mungkin alasan lain yang bisa mewakili sebagian anggapan mahasiswa Indonesia adalah efisiensi waktu dan saku. Tentu mahasiswa kita akan lebih mengutamakan tempat tinggal yang sepuluh atau lima belas menit dari kampus daripada satu jam dari flat. Untuk alasan ini tampaknya dapat diterima oleh mahasiswa yang kerap jarang mengaktifkan jam paginya. Saya kerap melihat banyak catatan baik blog atau vlog keseharian mahasiswa overseas lainnya, jarak mereka ke kampus memang berbeda, tapi mereka sepakat bahwa jarak bukanlah masalah apalagi alasan untuk telat ngampus.

Dan lagi uang saku serta ketahanannya selama sebulan tampak berpengaruh besar pada kantung mahasiswa. Terlebih setelah pemerintah Mesir menetapkan kenaikan harga bahan bakarakhir-akhir ini, yang tentunya sangat berpengaruh pada ongkos kendaraan. Terkadang memang untuk hal-hal baik kita merasa berat mengeluarkan uang saku, bahkan untuk sekedar ongkos ke kampus. Apalagi untuk membeli buku-buku rujukan. Hal sebaliknya terjadi jika kita ingin menghadiri kegiatan lain yang sesuai dengan tendensi pribadi. Mari kita muhasabah, apakah kegiatan organisasi, HUT kekeluargaan, olahraga, shopping di City Center atau ngopi di Starbucks dan Cilantro melebihi pentingnya pertemuan kita dengan Dosen dan Masyayikh Al Azhar?

Bukan, saya bukan ingin mengatakan bahwa lingkungan Darrasah tidak layak lagi untuk ditempati pelajar, tapi mari sejenak kita ngopi, ngolah pikir!. Wilayah Darrosah empat atau lima tahun yang lalu faktanya berbeda dari sekarang. Perbedaan ini yang menjuruskan fikiran saya agar sebaiknya adik-adik mahasiswa baru, atau para pengurus broker untuk kembali mengukur dan menimbang sebelum menguatkan ‘azzam bertempat tinggal di wilayah Darrosah.

Majelis ilmu tidak selalu menjadi tempat tinggal ‘alim.

Semua warga Mesir yang berkiblat pada Al Azhar pasti mengakui bahwa wilayah Al Azhar dan sekitarnya adalah pusat dari kajian keilmuan. Di sana terdapat mesjid Al Azhar dan bilik-biliknya (ruwaq), lembaga fatwa Mesir, Darul Ifta juga berada di sana, tepat di sampingnya gedung Masyikha (Kantor Grand Syeikh Al Azhar) juga berada di sana, fakultas-fakultas yang banyak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu juga ada di sana, belum lagi majelis ilmu non formal, atau yang kerap disebut talaqqy juga bertebaran di beberapa titik. Namun yang menjadi pertanyaan saya, mengapa jarang sekali dosen atau para masyayikh memilih tinggal di wilayah ini?

Seorang senior yang lebih dahulu datang ke Mesir saya tanyakan tentang hal ini, beliau hanya bilang bahwa lingkungan ini ‘asywai, “maksudnya, daerah ini kumuh, banyak yang tidak berpendidikan tinggal di sini, coba  aja kamu bandingkan bahasa yang dipakai anak sini, lebih kasar dari yang kamu temukan di (daerah) Asyir atau (daerah) Sabi’.” Dalam hati saya mengamini apa yang dikatakan olehnya, untuk yang tinggal di lingkungan ini tentunya gurauan “rasa” rasis pasti sering sampai ke telinga. Ya shiniyy... Ya shiniyyy!.

Tentunya saya tidak mengetahui latar belakang pasti para masyayikh jarang menempati lingkungan ini. Mungkin sebagian alasan sudah saya sebutkan di paragraf-paragraf awal. Lingkungan industri, lingkungan yang kotor dan minimnya kesadaran warganya untuk bersih adalah sebagian dari alasan beliau-beliau. Saat Umroh pada bulan Maret kemarin saya bertemu dengan seorang pakar kristologi alumnus Lipia, Jakarta, kesan pertama dia dengan Mesir dan Al Azhar adalah lingkungan kampus yang kotor dan sampah yang bertebaran di mana-mana.

Seorang kawan yang juga telah lebih dari sembilan tahun menetap di Mesir menimpali bahwa untuk menjawab kegundahan ini saya hanya perlu menanyakan seorang supir taksi atau siapapun yang tinggal di luar lingkungan ini. Dan benar saja, saat seorang supir taksi saya ajak bicara tentang lingkungan kami belajar, air wajahnya seraya berubah. Kurang lebih kata-katanya seperti ini, “Yang benar saja kalian tinggal di sana, lingkungan itu adalah sarang para pengedar kelas kakap. Terkenal dengan bisnis narkotika yang sulit untuk dijamah pihak berwajib.”

Harga sewa flat tidak sesuai dengan fasilitas

Flat pertama saya berada di kawasan belakang masjid Sayyidina Husein. Lantai 1, dengan 2 kamar sederhana, ruang tamu 2 x 2 meter, dan sebuah lorong yang di sampingnya terdapat dapur dan kamar mandi. Saat itu pemilik rumah membandrol harga sewa sebesar 1250 le (saat  itu sekitar 2.1 juta rupiah). Harga yang lumayan besar untuk fasilitas minimum yang kami dapatkan. Dengan harga seperti itu, saya lihat kawan-kawan lain bisa mendapatkan flat baru dengan 3 kamar besar. Apalagi saat itu, saya dan kawan se rumah mendapatkan tugas tambahan, yaitu membasmi tikus-tikus yang bersemayam di ruang antara dapur dan kamar mandi. Untung ada Maulana Taftanzani, dialah pawang tikus rumah saya. Syukron, Maulana.

Saat itu belum ada eksodus besar-besaran pelajar asing ke wilayah ini, di jalanan saya juga masih jarang melihat wajah-wajah khas Asia Tenggara. Warga Mesir masih banyak asing pada kami yang memang tak seberapa orang. Kami masih jadi “benar-benar” warga asing. Teringat saat pulang dari masjid menggunakan sarung dulu, sontak senior saya tertawa, “lu beneran ke mesjid pakai sarung?, di sini sarung tu digunain buat orang-orang jima’”. Pantas saja, sepanjang pulang tadi, lirikan gemas dan lucu terus mengikuti kibaran sarung yang saya gunakan. Sekarang, sarung bukan hal aneh bagi warga setempat. Sampai-sampai tak jarang saya lihat Masisir menggunakan sarung menaiki bis 80/. Mungkin biar lebih sepoi-sepoi ya dihempas angin.

Saat ini, apalagi saat  malam-malam bulan puasa anda akan temukan suasana seperti desa Anda di Mesir, para pria menggunakan sarung dan songkok, sementara wanitanya ayu dengan balutan mukena. Tentunya ini mengindikasikan adanya praktek akulturasi yang kuat di lingkungan saya berada. Para pelajar asing hari ini tidak sungkan untuk bergaul dengan warga Mesir, bahkan saya pernah menemukan seorang yang kedapatan mengutang sebungkus rokok di baqalah (warung kecil) dekat rumah saya. Tidak lama setelah saya melihat kejadian itu, tersebar kabar di laman gawai Masisir, kalau ada yang merokok di lingkungan kampus. Dalam hati, saya bergumam, “parah banget ya, udah rokoknya ngutang, eh malah nyebat di pelataran kampus.”  

Baiklah, mari kembali ke laptop. Tapi sebelum kembali membahas tentang harga sewa flat hari ini, agar lebih bijak mari kita melihat tabel berikut:

Tabel di atas merupakan pergerakan rupiah atas pond Mesir dan sebaliknya dalam 5 tahun. Dari sana dapat kita lihat bagaimana pond Mesir mengalami inflasi besar-besaran pada pertengahan 2016. Saat itu, rakyat Mesir menderita, dan pelajar asing tentunya bahagia. Butuh waktu beberapa bulan hingga harga barang-barang menyesuaikan dengan kurs mereka. Termasuk harga sewa flat.

Sekarang ini (setelah 5 tahun) harga sewa flat pelajar asing wilayah ini minimal sudah mencapai minimal 2500 le. Tidak jarang saya temukan harga yang lebih besar. Harga yang dibayarkan nyatanya terkadang belum termasuk harga listrik dan air. Sebutlah untuk pengeluaran sebuah flat dengan listrik dan air 3000 (2.5 juat rupiah), walau tidak terlihat terlalu besar signifikansi kenaikannya (sekitar 400 ribu rupiah), tetap saja harga tersebut lebih besar dari yang bisa dilihat kawasan-kawasan lain yang banyak ditempati mahasiswa asing, seperti daerah district 10, Mikawy dan Tabbah yang masih kisaran di bawah 2000 le. Dari sini saya melihat harga sewa properti di Mesir relatif dapat terkendali, hanya saja terdapat faktor lain yang membuat harga melambung dengan cepat.

Mau tidak mau saya akan mengatakan bahwa eksodus besar-besaran pelajar asing ke daerah ini adalah salah satu faktornya. Ditambah lagi kurang kuatnya ikatan para pelajar asing menjaga harga sewa di lingkungannya menyebabkan dengan mudah para makelar untuk menaikkan harga sewa. Tidak terkontrolnya harga sewa properti seperti ini tentunya akan terus menerus terjadi jika mahasiswa asing sendiri tidak melakukan evaluasi atau paling tidak mengatur kembali sistem penempatan adik-adik kelas yang kelak akan datang ke Mesir ini. Peran organisasi induk sangat dibutuhkan menyoal permasalahan ini, karena hal ini tidak bisa diselesaikan oleh satu dua pihak.  

Saya tidak mau memperpanjang tulisan ini agar jadinya tidak membosankan. Mungkin ada yang sepakat atau tidak dengan opini ini. Itu biasa. Bagi yang tetap ingin tinggal di lingkungan Darrosah ya.. silahkan dan nikmati saja, dan bagi yang ingin bermigrasi ke lingkungan ini semoga catatan saya di atas dapat berguna untuk pertimbangan Anda. Pada akhirnya saya ingin menguatkan pernyataan awal saya, bahwa saya memang ditakdirkan untuk tinggal di Darrosah, tidak ada lagi pertimbangan lain. Kalian tahu kan sangat sedikit peran manusia perihal takdir. Kegiatan dan jadwal harian saya sangat tidak terganggu dengan lingkungan saya. Jadi saya tetap akan ngaji, kuliah, dan pergi ke tempat kegiatan lainnya seperti biasa bukan hanya karena saya tinggal di Darrosah, karena saya tahu itu hanya karena takdir.