|
9 September, 2015, saat tiba di Ardhul Kinanah |
"Catatan singkat ga penting-penting amat tentang lingkungan tempat saya
tinggal."
Saya
ditakdirkan untuk tinggal di Darrosah. Hingga kini, atau tepatnya tiga tahun,
sebelas bulan. Kurang beberapa hari lagi tepat 4 tahun saya bertempat tinggal
di Darrosah, sebuah muhafazah, wilayah setingkat
kecamatan di pinggiran kota Kairo, Mesir. Sebuah daerah yang kaya akan nilai sekaligus situs sejarah, karena diapit
oleh dua masjid kebanggaan rakyat Mesir. Masjid Al Azhar dan Masjid Sayyidina
Husein. Dua masjid fenomenal yang masing-masing menggambarkan peradaban yang
saling menguatkan. Masjid Al Azhar menggambarkan keilmuan, dan Masjid Sayyidina
Husein menggambarkan akhlak Islam, cinta Ahlul Bait. Keduanya mampu saya tempuh sepuluh menit dengan berjalan kaki.
Semuanya
berawal dari request saya pada Fahri Ganiardi, kakak kelas di Gontor
dulu. “Ri, pokoknya gw pengen Flat deket kampus. Tempatin gw di sana!” Karena kedekatan kami, dan status Fahri yang saat itu menjadi senior di
IKPM Kairo, keinginan saya pun terkabul. Alasan saya ingin bertempat tinggal di
sana sebenarnya klasik, yaitu ingin
lebih dekat dengan dunia akademik, karena saat itu perspektif mahasiswa Al
Azhar yang urakan dan lebih banyak main masih menempel di kepala saya. Walaupun
sempat terganggu dengan kata-kata Fahri yang mendeskripsikan lingkungan dekat
perkuliahan dengan kumuh dan kotor, bagi saya itu masih lebih baik daripada
projek tahun pertama saya tinggal di Mesir banyak terganggu.
Saya akhirnya tiba di Mesir pada tanggal 9, bulan
September, tahun 2015, di Terminal 1 lama. Dan perjalanan pun dimulai. Saya
masih ingat, saat itu musim panas memang sedang puncak-puncaknya. Saya lebih
fokus pada penyesuaian badan dengan iklim dan cuaca yang baru daripada menelaah
hal lain dari lingkungan tempat saya tinggal. Satu hal yang belakangan baru
saya sadari adalah, saya tinggal di lingkungan semi industri, di mana
pabrik-pabrik mikro home industri tersebar dan menjamur di sana. Hal ini
tentunya tidak terlepas dari letaknya sebagai penyangga dua pasar besar di
sekitarnya, yaitu Khan Khalili (pusat oleh-oleh termasyhur di Mesir) dan pasar
Attaba (pasar tradisional warga Kairo).
Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan flat yang
dikelilingi pabrik sepatu dan pernak-pernik oleh-oleh tentunya. Namun realita
itu membuat saya terpaksa mengakui bahwa sampah dan limbah industri tentunya
akan menjadi makanan mata sekaligus parfum memuakkan sehari-harinya. Belum lagi
kebiasaan penduduk daerah ini terbilang kurang terdidik untuk bersih. Berbagai
macam sampah, baik daur ulang maupun
tidak dapat didaur ulang, hingga maaf, sampah yang seharusnya tidak layak
dibuang tanpa bungkusan seperti pembalut wanita atau pampers bekas
bayi selalu menjadi pandangan
sehari-hari berceceran di jalanan.
Pada tahun 2018 lalu sebenarnya pemerintah setempat
sempat mengkampenyekan sebuah gerakan kebersihan bertajuk “khallik zay
aadam, matirmisy hagah alal ardh.” Gerakan ini kurang lebih berarti
‘jadilah dirimu seperti nabi Allah Swt Adam, yang memulai peradaban kebaikan di
dunia. Jangan merusaknya dengan cara membuang sampah sembarangan.’ Gerakan ini
bersambut dengan dimunculkannya puluhan tempat sampah plastik berwarna hijau
yang ditempel di pinggir-pinggir jalan besar. Dapat anda tebak tentunya, kesadaran pemerintah tidak
dibarengi dengan kesadaran warga, sehingga tempat sampah itu tidak lama hilang
ditelan zaman. Sebagian dicuri, sebagian lagi rusak oleh tangan jahil warga.
Gerakan tersebut hanyalah isapan jempol sesaat. Tentu tak
berdampak ke flat-flat sewaan kami, yang jauh masuk ke dalam haarat-haarat (seperti
gang) kecil. Mungkin banyak mahasiswa overseas memilih lingkungan ini
sebagai tempat tinggal karena dekat dengan aktivitas perkuliahan, baik formal
maupun non formal. Kebetulan kampus utama universitas Al Azhar juga berada di
lingkungan ini dengan tiga fakultas pamungkasnya, Ushuludin, Syariah dan Bahasa
Arab. Walaupun hal itu tidak berlaku bagi saya yang ngampus di bilangan
district 6. Namun bagi saya yang sudah lima kali pindah flat dalam lima tahun
alasan klasik itu bagai pekat bau kotoran anjing yang saya hirup hampir tiap
hari. Sekejap tajam, namun segera hilang.
Mengapa klasik? Simpelnya, karena saya tau alasan seperti
ini harus ada masanya, dan sebaiknya dirasakan sejak awal. Roda kehidupan akan
terus berjalan. Maksud saya, di masa depan, kawan-kawan baru tentunya akan
menggantikan posisi saya sebagai mahasiswa Al Azhar. Dan alasan klasik seperti
dekat dengan kampus sekarang tidak lagi bisa meligitimasi Anda untuk tinggal di
Darrosah. Karena banyak pula mahasiswa Indonesia di luar lingkungan ini yang
intensitas kehadiran kuliahnya melebihi kawan-kawan saya yang memang
sehari-harinya memandang kampus dari jendela flat mereka.
Mungkin alasan lain yang bisa mewakili sebagian anggapan
mahasiswa Indonesia adalah efisiensi waktu dan saku. Tentu mahasiswa kita akan
lebih mengutamakan tempat tinggal yang sepuluh atau lima belas menit dari
kampus daripada satu jam dari flat. Untuk alasan ini tampaknya dapat diterima
oleh mahasiswa yang kerap jarang mengaktifkan jam paginya. Saya kerap melihat
banyak catatan baik blog atau vlog keseharian mahasiswa overseas lainnya,
jarak mereka ke kampus memang berbeda, tapi mereka sepakat bahwa jarak bukanlah
masalah apalagi alasan untuk telat ngampus.
Dan lagi uang saku serta ketahanannya selama sebulan
tampak berpengaruh besar pada kantung mahasiswa. Terlebih setelah pemerintah
Mesir menetapkan kenaikan harga bahan bakarakhir-akhir ini, yang tentunya
sangat berpengaruh pada ongkos kendaraan. Terkadang memang untuk hal-hal baik
kita merasa berat mengeluarkan uang saku, bahkan untuk sekedar ongkos ke
kampus. Apalagi untuk membeli buku-buku rujukan. Hal sebaliknya terjadi jika
kita ingin menghadiri kegiatan lain yang sesuai dengan tendensi pribadi. Mari
kita muhasabah, apakah kegiatan organisasi, HUT kekeluargaan, olahraga, shopping
di City Center atau ngopi di Starbucks dan Cilantro melebihi
pentingnya pertemuan kita dengan Dosen dan Masyayikh Al Azhar?
Bukan, saya bukan ingin mengatakan bahwa lingkungan
Darrasah tidak layak lagi untuk ditempati pelajar, tapi mari sejenak kita ngopi,
ngolah pikir!. Wilayah Darrosah empat atau lima tahun yang lalu faktanya
berbeda dari sekarang. Perbedaan ini yang menjuruskan fikiran saya agar
sebaiknya adik-adik mahasiswa baru, atau para pengurus broker untuk kembali
mengukur dan menimbang sebelum menguatkan ‘azzam bertempat tinggal di
wilayah Darrosah.
Majelis ilmu tidak selalu menjadi tempat tinggal ‘alim.
Semua warga Mesir yang berkiblat pada Al Azhar pasti
mengakui bahwa wilayah Al Azhar dan sekitarnya adalah pusat dari kajian
keilmuan. Di sana terdapat mesjid Al Azhar dan bilik-biliknya (ruwaq), lembaga
fatwa Mesir, Darul Ifta juga berada di sana, tepat di sampingnya gedung Masyikha
(Kantor Grand Syeikh Al Azhar) juga berada di sana, fakultas-fakultas
yang banyak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu juga ada di sana, belum lagi
majelis ilmu non formal, atau yang kerap disebut talaqqy juga bertebaran
di beberapa titik. Namun yang menjadi pertanyaan saya, mengapa jarang sekali
dosen atau para masyayikh memilih tinggal di wilayah ini?
Seorang senior yang lebih dahulu datang ke Mesir saya tanyakan tentang hal ini, beliau hanya bilang bahwa lingkungan ini ‘asywai, “maksudnya, daerah
ini kumuh, banyak yang tidak berpendidikan tinggal di sini, coba aja kamu
bandingkan bahasa yang dipakai anak sini, lebih kasar dari yang kamu temukan di
(daerah) Asyir atau (daerah) Sabi’.” Dalam hati
saya mengamini apa yang dikatakan olehnya, untuk yang tinggal di lingkungan ini
tentunya gurauan “rasa” rasis pasti sering sampai ke telinga. Ya shiniyy...
Ya shiniyyy!.
Tentunya saya tidak mengetahui latar belakang pasti para masyayikh
jarang menempati lingkungan ini. Mungkin sebagian alasan sudah saya
sebutkan di paragraf-paragraf awal. Lingkungan industri, lingkungan yang kotor
dan minimnya kesadaran warganya untuk bersih adalah sebagian dari alasan
beliau-beliau. Saat Umroh pada bulan Maret kemarin saya bertemu dengan seorang
pakar kristologi alumnus Lipia, Jakarta, kesan pertama dia dengan Mesir dan Al
Azhar adalah lingkungan kampus yang kotor dan sampah yang bertebaran di
mana-mana.
Seorang kawan yang juga telah lebih dari sembilan tahun
menetap di Mesir menimpali bahwa untuk menjawab kegundahan ini saya hanya perlu
menanyakan seorang supir taksi atau siapapun yang tinggal di luar lingkungan
ini. Dan benar saja, saat seorang supir taksi saya ajak bicara tentang
lingkungan kami belajar, air wajahnya seraya berubah. Kurang lebih kata-katanya
seperti ini, “Yang benar saja kalian tinggal di sana, lingkungan itu adalah
sarang para pengedar kelas kakap. Terkenal dengan bisnis narkotika yang sulit
untuk dijamah pihak berwajib.”
Harga sewa flat tidak sesuai dengan fasilitas
Flat pertama saya berada di kawasan belakang masjid
Sayyidina Husein. Lantai 1, dengan 2 kamar sederhana, ruang tamu 2 x 2 meter,
dan sebuah lorong yang di sampingnya terdapat dapur dan kamar mandi. Saat itu pemilik
rumah membandrol harga sewa sebesar 1250 le (saat itu sekitar 2.1 juta rupiah). Harga yang lumayan
besar untuk fasilitas minimum yang kami dapatkan. Dengan harga seperti itu, saya
lihat kawan-kawan lain bisa mendapatkan flat baru dengan 3 kamar besar. Apalagi
saat itu, saya dan kawan se rumah mendapatkan tugas tambahan, yaitu membasmi tikus-tikus
yang bersemayam di ruang antara dapur dan kamar mandi. Untung ada Maulana Taftanzani,
dialah pawang tikus rumah saya. Syukron, Maulana.
Saat itu belum ada eksodus besar-besaran pelajar asing ke
wilayah ini, di jalanan saya juga masih jarang melihat wajah-wajah khas Asia
Tenggara. Warga Mesir masih banyak asing pada kami yang memang tak seberapa
orang. Kami masih jadi “benar-benar” warga asing. Teringat saat pulang dari
masjid menggunakan sarung dulu, sontak senior saya tertawa, “lu beneran ke
mesjid pakai sarung?, di sini sarung tu digunain buat orang-orang jima’”. Pantas
saja, sepanjang pulang tadi, lirikan gemas dan lucu terus mengikuti kibaran
sarung yang saya gunakan. Sekarang, sarung bukan hal aneh bagi warga setempat. Sampai-sampai
tak jarang saya lihat Masisir menggunakan sarung menaiki bis 80/. Mungkin biar
lebih sepoi-sepoi ya dihempas angin.
Saat ini, apalagi saat malam-malam bulan puasa anda akan temukan suasana
seperti desa Anda di Mesir, para pria menggunakan sarung dan songkok, sementara
wanitanya ayu dengan balutan mukena. Tentunya ini mengindikasikan adanya
praktek akulturasi yang kuat di lingkungan saya berada. Para pelajar asing hari
ini tidak sungkan untuk bergaul dengan warga Mesir, bahkan saya pernah menemukan
seorang yang kedapatan mengutang sebungkus rokok di baqalah (warung
kecil) dekat rumah saya. Tidak lama setelah saya melihat kejadian itu, tersebar
kabar di laman gawai Masisir, kalau ada yang merokok di lingkungan kampus. Dalam
hati, saya bergumam, “parah banget ya, udah rokoknya ngutang, eh malah nyebat
di pelataran kampus.”
Baiklah, mari kembali ke laptop. Tapi sebelum kembali
membahas tentang harga sewa flat hari ini, agar lebih bijak mari kita melihat tabel
berikut:
Tabel di atas merupakan pergerakan rupiah atas pond Mesir
dan sebaliknya dalam 5 tahun. Dari sana dapat kita lihat bagaimana pond Mesir
mengalami inflasi besar-besaran pada pertengahan 2016. Saat itu, rakyat Mesir
menderita, dan pelajar asing tentunya bahagia. Butuh waktu beberapa bulan
hingga harga barang-barang menyesuaikan dengan kurs mereka. Termasuk harga sewa
flat.
Sekarang ini (setelah 5 tahun) harga sewa flat pelajar
asing wilayah ini minimal sudah mencapai minimal 2500 le. Tidak jarang saya
temukan harga yang lebih besar. Harga yang dibayarkan nyatanya terkadang belum
termasuk harga listrik dan air. Sebutlah untuk pengeluaran sebuah flat dengan
listrik dan air 3000 (2.5 juat rupiah), walau tidak terlihat terlalu besar signifikansi
kenaikannya (sekitar 400 ribu rupiah), tetap saja harga tersebut lebih besar
dari yang bisa dilihat kawasan-kawasan lain yang banyak ditempati mahasiswa asing,
seperti daerah district 10, Mikawy dan Tabbah yang masih kisaran di bawah 2000
le. Dari sini saya melihat harga sewa properti di Mesir relatif dapat terkendali,
hanya saja terdapat faktor lain yang membuat harga melambung dengan cepat.
Mau tidak mau saya akan mengatakan bahwa eksodus
besar-besaran pelajar asing ke daerah ini adalah salah satu faktornya. Ditambah
lagi kurang kuatnya ikatan para pelajar asing menjaga harga sewa di
lingkungannya menyebabkan dengan mudah para makelar untuk menaikkan harga sewa.
Tidak terkontrolnya harga sewa properti seperti ini tentunya akan terus menerus
terjadi jika mahasiswa asing sendiri tidak melakukan evaluasi atau paling tidak
mengatur kembali sistem penempatan adik-adik kelas yang kelak akan datang ke
Mesir ini. Peran organisasi induk sangat dibutuhkan menyoal permasalahan ini, karena
hal ini tidak bisa diselesaikan oleh satu dua pihak.
Saya tidak mau memperpanjang tulisan ini agar jadinya tidak
membosankan. Mungkin ada yang sepakat atau tidak dengan opini ini. Itu biasa. Bagi
yang tetap ingin tinggal di lingkungan Darrosah ya.. silahkan dan nikmati
saja, dan bagi yang ingin bermigrasi ke lingkungan ini semoga catatan saya di
atas dapat berguna untuk pertimbangan Anda. Pada akhirnya saya ingin menguatkan
pernyataan awal saya, bahwa saya memang ditakdirkan untuk tinggal di Darrosah,
tidak ada lagi pertimbangan lain. Kalian tahu kan sangat sedikit peran manusia
perihal takdir. Kegiatan dan jadwal harian saya sangat tidak terganggu dengan
lingkungan saya. Jadi saya tetap akan ngaji, kuliah, dan pergi ke tempat
kegiatan lainnya seperti biasa bukan hanya karena saya tinggal di Darrosah, karena
saya tahu itu hanya karena takdir.