Rabu, 24 Juli 2019

Review Novel Ayah Karya Andrea Hirata



Sejujurnya ini adalah pengalaman pertama saya membaca karya Andrea Hirata. Hal ini tentunya tidak mengurangi hormat saya pada beliau yang karyanya telah banyak menginspirasi banyak orang, membuka cakrawala nusantara yang terkadang tertutup oleh media mainstream yang pemberitaannya tidak sesuai dengan kebutuhan anak negeri, dan mengupas jauh keindahan alam Indonesia yang mempesona melalui paragraf-paragraf karyanya. Sebelumnya saya ingin jujur, saya merupakan penikmat karya fiksi musiman. Musim liburan, musim penat, musim galau adalah musim-musim yang tepat bagi saya untuk menikmati fiksi. Salah memang, karena saya sendiri percaya, semua karya bermula dari fiksi. Tidak ada yang benar-benar nyata di bumi ini kecuali kitab suci. Bahkan kitab suci yang saya Imani dipenuhi dengan kisah-kisah inspiratif yang gaya penulisannya sangat mirip dengan penulisan kisah fiksi di novel-novel.

Baiklah, mari kita kembali ke novel yang saya temukan di barisan buku-buku milik kawan saya, Ahmad Faisal alias Azrul Faisal Kaizen. Kawan dekat saya mahasiswa Al Azhar jurusan Syariah dan Hukum, namun aktif sebagai pengisi Ruwat Cerpen di Komunitas Budaya Akar –salah satu komunitas budaya dan sastra di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir-. Sungguh kolaborasi minat yang lengkap bagi saya. Seorang yang menyenangi hal yang sifatnya kaku, mengatur dan memiliki otoritas pada kehidupan, yang dinamakan hukum, sekaligus menggandrungi kata yang memang tidak memiliki ibu, dia terlahir dari segala dan sangat mungkin untuk ditaruh di manapun. Karya sastra terkadang terlahir dari benda mati macam batu dan gunung. Kadang juga dia terlahir dari pemeran nyata bagai raja-raja Nubia. Sampai saat ini saya belum bisa membaca genre apa yang digemari oleh Faisal, karena di rentetan bukunya terdapat banyak tema: Aksi, drama, romansa dlsb.

Selepas ujian Universitas Al Azhar termin 2,  dari rak buku Azrul saya mengambil salah satu novelnya, Ayah, karya Andrea Hirata, seorang Sastrawan asal Belitong, kepulauan Bangka Belitung. Sebelumnya saya belum begitu berniat untuk membaca novel ini karena penulis dan karya-karyanya tentunya. Namun karena saat itu saya sedang disibukkan dengan berbagai hal lain, akhirnya novel ini hanya menjadi penghias meja membaca. Akan tetapi saya enggan mengembalikan novel ini ke tempatnya agar senantiasa teringat untuk segera menyegarkan jiwa saya dengan sastra, karena saya merasa bahwa sastra dapat menjadi penawar dari hal-hal pasti menjemukan dan terkadang beracun (karena dikonsumsi berlebihan) seperti diktat-diktat perkuliahan Al Azhar.

Andrea Hirata nampaknya sudah begitu pengalaman mengaduk perasaan pembacanya. Dia bukan tipe penulis yang berapi-api di awal, dia membawa pembaca ke ruangan pribadi miliknya yang dipaksanya untuk bersabar meniti baris demi baris untuk tiba pada sesuatu yang saya anggap agak “aneh jika ada tokoh seperti ini”. Dalam perjalanan membangun tokohnya, Sabari, kiranya ia perlu menghabiskan tinta hingga ratusan halaman di awal sebelum membangun konflik-konflik lain dengan tokoh pendamping macam Marlena, Markoni, Izmi, dan Zubaidah. Tokoh-tokoh yang dikisahkan menjadi sahabatnya juga memiliki peran lebih dari sahabat kiranya. Mereka sungguh dapat menjadi role modele rekan yang ada saat Sabari hanya menjadi murid biasa yang pandai di mata pelajaran Bahasa Indonesia, mereka juga ada saat Sabari dihinggapi kumbang-kumbang cinta pada sosok pujaannya, Marlena. Mereka rela dibuat “ikut” gila pada sosok Sabari hanya untuk menemaninya.
Salah satunya adalah aksi mereka saat membuat beberapa pucuk surat yang mengatasnamakan Lena, sapaan Marlena yang ditujukan pada Sabari. Mereka melakukan itu hanya agar Sabari merasa  bahwa cintanya tidak pernah benar-benar bertepuk sebelah tangan walau kenyataan berkata sebaliknya. 

Kisah kasih Sabari pada Marlena bagai Laila pada Majenun (Qois) bedanya, jika Qois dilabeli Majenun (gila) oleh masyarakat sekitarnya sementara Sabari disumpah serapahi gila justru oleh Lena. Lena tidak pernah mau pada sosok Sabari yang singkatnya memang bukan tipenya, jika benar-benar enggan dikatakan buruk rupa. Tapi itulah cinta Sabari, baginya cinta rupa adalah ukuran awal perasaannya. Sabari yang sangat berminat pada puisi telah menemukan dawat bagi untaian puisi-puisinya. Baginya sosok Marlena binti Markoni telah cukup untuk menjadi sebuah oase di tengah gurun di mana ia rela singgah hingga ajal menjemputnya. Namun apa daya, Marlena adalah seorang wanita keras kepala yang katanya bagai karang di pesisir pantai, butuh ribuan tahun untuk membuatnya tergerus. Dan nampaknya kesabaran air laut menerpa karang itu juga yang pada akhirnya menjadi guru sabar Sabari dalam kisahnya bersama Marlena.

Pembaca mungkin tidak pernah menyangka bahwa tokoh utama yang memerankan Ayah dalam karya Andrea adalah Sabari. Pasalnya sebelum Sabari benar-benar menerima seorang anak dari Lena, pembaca telah diberikan berbagai macam peranan Ayah seperti Amirza ayah Amiru alias Zorro , Markoni ayah Marlena atau bahkan Ayah Sabari sendiri. Walau keduanya menjadi sosok ayah akan tetapi pembaca pada akhirnya akan sadar bahwa mereka bukanlah sosok yang diinginkan Ayah oleh Andrea. Seorang ayah yang diinginkan Andrea adalah serupa manusia rupanya lebih indah dari bahkan bulan ke dua belas bagi anaknya. Dan Jika boleh dikalkulasikan ayah yang diinginkan oleh Andrea adalah sosok Bulan yang yang tidak hanya hadir pada bulan ke dua belas, tapi juga bulan-bulan lainnya dalam setahun, di berbagai bentuknya, walau bulan kecil dan samar, sabit, hingga purnama. Di sepanjang tahun, menemani anaknya yang setia memandanginya tanpa jemu, membacakan puisi, menggendong dan mengajari keikhlasan padanya di setiap waktu. Bagi Amiru, ayahnya Sabari hanya hilang sosoknya pada saat dibawa merantau oleh Marlena ke seantero Sumatera namun sinar kejujuran Sabari tampak selalu mengirigi Amiru.

Saat Sabari kehilangan Amiru alias Zorro adalah bagian yang bagi saya menyayat hati sekaligus puncak konflik yang dihadirkan oleh Andrea. Di saat Amiru mulai mengerti hidup melalui perjalanan dan untaian puisi yang dibuatnya bersama ibunya Marlena, di saat yang sama di negeri berbeda adalah sosok Sabari yang nyaris kehilangan kewarasannya karena kehilangan anak semata wayangnya. Kasihnya pada Zorro yang telah melewati kadar luas tujuh samudera dan tujuh benua nampaknya menjadi sinyal bagi kehidupannya yang kan hilang segalanya, usaha, kambing-kambing peliharaan, kepercayaan diri tapi tidak harga diri. Sosok Ukun dan Tamat kembali menjadi penolong Sabari. Mereka mengarungi luasnya Sumatera, menjelajahi sahabat pena Marlena, mengunjungi mantan-mantan suami Marlena sambil mencari hakikat kehidupan sebenarnya. Ukun dengan kemahirannya dalam berbahasa Indonesia tampak amat menikmati perjalanan ini. Tamat yang menjadi pemimpin perjalanan ini pun juga menikmati. Perjalanan yang diperkirakan menghabiskan waktu satu bulan molor hingga dua bulan. Mereka keluarkan segala usaha untuk menemukan keduanya agar bisa dibawa pulang kembali pada Sabari.

Hari itupun tiba, setelah perjalanan panjang dan  waktu yang tidak sebentar (sekitar 8 tahun) Sabari bertemu kembali anaknya. Anak yang selama ini menjadi alasannya untuk hidup dan menghidupi sekitarnya telah kembali bersamanya. Puisi-puisi indah kembali berlayar melalui diri Amiru dan Sabari. Lena telah merelakan Zorro untuk kembali tinggal bersama ayahnya. Kerasnya hidup nampaknya telah mengajarinya arti cinta ayah sesungguhnya. Tentunya ia tidak ingin hal yang sama terjadi padanya dan ayahnya Markoni. Ia pasti menginginkan Zorro berbakti dan kembali pada pelukan ayahnya, menemaninya hingga akhir hayatnya. Memang cinta tidak pernah datang terlambat akan tetapi cinta datang pada waktu yang tepat. Hal itu kiranya yang disadari oleh Marlena. Akhirnya ia sadar yang paling mencintainya adalah Sabari, karena cintanya tidak sebatas pada rupa indahnya tapi jauh melampaui itu, ia ingin anaknya, Zorro, menjadi anak yang memahami arti kehidupan sebenarnya. Marlena kekal bersama Sabari yang selalau bersamanya, di sampingnya, dalam ikatan nisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar