Sejujurnya ini adalah pengalaman pertama saya membaca karya
Andrea Hirata. Hal ini tentunya tidak mengurangi hormat saya pada beliau yang
karyanya telah banyak menginspirasi banyak orang, membuka cakrawala nusantara
yang terkadang tertutup oleh media mainstream yang pemberitaannya tidak
sesuai dengan kebutuhan anak negeri,
dan mengupas jauh keindahan alam Indonesia yang mempesona melalui paragraf-paragraf
karyanya. Sebelumnya saya ingin jujur, saya merupakan penikmat karya
fiksi musiman. Musim liburan, musim penat, musim galau adalah musim-musim yang
tepat bagi saya untuk menikmati fiksi. Salah memang, karena saya sendiri
percaya, semua karya bermula dari fiksi. Tidak ada yang benar-benar nyata di
bumi ini kecuali kitab suci. Bahkan kitab suci yang saya Imani dipenuhi dengan
kisah-kisah inspiratif yang gaya penulisannya sangat mirip dengan penulisan
kisah fiksi di novel-novel.
Baiklah, mari kita kembali ke novel yang saya temukan di
barisan buku-buku milik kawan saya, Ahmad Faisal alias Azrul Faisal Kaizen.
Kawan dekat saya mahasiswa Al Azhar jurusan Syariah dan Hukum, namun aktif
sebagai pengisi Ruwat Cerpen di Komunitas Budaya Akar –salah satu komunitas budaya dan sastra di
kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir-. Sungguh kolaborasi minat yang
lengkap bagi saya. Seorang yang menyenangi
hal yang sifatnya kaku, mengatur dan memiliki otoritas pada kehidupan, yang dinamakan hukum, sekaligus menggandrungi kata yang
memang tidak memiliki ibu, dia terlahir dari segala dan sangat mungkin untuk
ditaruh di manapun. Karya sastra terkadang terlahir dari benda mati macam batu
dan gunung. Kadang juga dia terlahir dari pemeran nyata bagai raja-raja Nubia.
Sampai saat ini saya belum bisa membaca genre apa yang digemari oleh Faisal,
karena di rentetan bukunya terdapat banyak tema: Aksi, drama, romansa dlsb.
Selepas ujian
Universitas Al Azhar termin 2, dari rak
buku Azrul saya mengambil salah satu novelnya, Ayah, karya Andrea Hirata,
seorang Sastrawan asal Belitong, kepulauan Bangka Belitung. Sebelumnya saya
belum begitu berniat untuk membaca novel ini karena penulis dan karya-karyanya
tentunya. Namun karena saat itu saya sedang disibukkan dengan berbagai hal
lain, akhirnya novel ini hanya menjadi penghias meja membaca. Akan tetapi saya
enggan mengembalikan novel ini ke tempatnya agar senantiasa teringat untuk
segera menyegarkan jiwa saya dengan sastra, karena saya merasa bahwa sastra
dapat menjadi penawar dari hal-hal pasti menjemukan dan terkadang beracun
(karena dikonsumsi berlebihan) seperti diktat-diktat perkuliahan Al Azhar.
Andrea Hirata
nampaknya sudah begitu pengalaman mengaduk perasaan pembacanya. Dia bukan tipe
penulis yang berapi-api di awal, dia membawa pembaca ke ruangan pribadi
miliknya yang dipaksanya untuk bersabar meniti baris demi baris untuk tiba pada
sesuatu yang saya anggap agak “aneh jika ada tokoh seperti ini”. Dalam
perjalanan membangun tokohnya, Sabari, kiranya ia perlu menghabiskan tinta
hingga ratusan halaman di awal sebelum membangun konflik-konflik lain dengan
tokoh pendamping macam Marlena, Markoni, Izmi, dan Zubaidah. Tokoh-tokoh yang
dikisahkan menjadi sahabatnya juga memiliki peran lebih dari sahabat kiranya.
Mereka sungguh dapat menjadi role modele rekan yang ada saat Sabari
hanya menjadi murid biasa yang pandai di mata pelajaran Bahasa Indonesia,
mereka juga ada saat Sabari dihinggapi kumbang-kumbang cinta pada sosok
pujaannya, Marlena. Mereka rela dibuat “ikut” gila pada sosok Sabari hanya
untuk menemaninya.
Salah satunya
adalah aksi mereka saat membuat beberapa pucuk surat yang mengatasnamakan Lena,
sapaan Marlena yang ditujukan pada Sabari. Mereka melakukan itu hanya agar
Sabari merasa bahwa cintanya tidak
pernah benar-benar bertepuk sebelah tangan walau kenyataan berkata sebaliknya.
Kisah kasih Sabari pada Marlena bagai Laila pada Majenun (Qois) bedanya, jika
Qois dilabeli Majenun (gila) oleh masyarakat sekitarnya sementara Sabari
disumpah serapahi gila justru oleh Lena. Lena tidak pernah mau pada sosok
Sabari yang singkatnya memang bukan tipenya, jika benar-benar enggan dikatakan
buruk rupa. Tapi itulah cinta Sabari, baginya cinta rupa adalah ukuran awal
perasaannya. Sabari yang sangat berminat pada puisi telah menemukan dawat bagi
untaian puisi-puisinya. Baginya sosok Marlena binti Markoni telah cukup untuk
menjadi sebuah oase di tengah gurun di mana ia rela singgah hingga ajal
menjemputnya. Namun apa daya, Marlena adalah seorang wanita keras kepala yang
katanya bagai karang di pesisir pantai, butuh ribuan tahun untuk membuatnya
tergerus. Dan nampaknya kesabaran air laut menerpa karang itu juga yang pada
akhirnya menjadi guru sabar Sabari dalam kisahnya bersama Marlena.
Pembaca mungkin
tidak pernah menyangka bahwa tokoh utama yang memerankan Ayah dalam
karya Andrea adalah Sabari. Pasalnya sebelum Sabari benar-benar menerima
seorang anak dari Lena, pembaca telah diberikan berbagai macam peranan Ayah
seperti Amirza ayah Amiru alias Zorro , Markoni ayah Marlena atau bahkan Ayah
Sabari sendiri. Walau keduanya menjadi sosok ayah akan tetapi pembaca pada
akhirnya akan sadar bahwa mereka bukanlah sosok yang diinginkan Ayah oleh
Andrea. Seorang ayah yang diinginkan Andrea adalah serupa manusia rupanya lebih
indah dari bahkan bulan ke dua belas bagi anaknya. Dan Jika boleh
dikalkulasikan ayah yang diinginkan oleh Andrea adalah sosok Bulan yang yang
tidak hanya hadir pada bulan ke dua belas, tapi juga bulan-bulan lainnya dalam
setahun, di berbagai bentuknya, walau bulan kecil dan samar, sabit, hingga
purnama. Di sepanjang tahun, menemani anaknya yang setia memandanginya tanpa
jemu, membacakan puisi, menggendong dan mengajari keikhlasan padanya di setiap
waktu. Bagi Amiru, ayahnya Sabari hanya hilang sosoknya pada saat dibawa
merantau oleh Marlena ke seantero Sumatera namun sinar kejujuran Sabari tampak
selalu mengirigi Amiru.
Saat Sabari
kehilangan Amiru alias Zorro adalah bagian yang bagi saya menyayat hati
sekaligus puncak konflik yang dihadirkan oleh Andrea. Di saat Amiru mulai
mengerti hidup melalui perjalanan dan untaian puisi yang dibuatnya bersama
ibunya Marlena, di saat yang sama di negeri berbeda adalah sosok Sabari yang
nyaris kehilangan kewarasannya karena kehilangan anak semata wayangnya.
Kasihnya pada Zorro yang telah melewati kadar luas tujuh samudera dan tujuh
benua nampaknya menjadi sinyal bagi kehidupannya yang kan hilang segalanya,
usaha, kambing-kambing peliharaan, kepercayaan diri tapi tidak harga diri.
Sosok Ukun dan Tamat kembali menjadi penolong Sabari. Mereka mengarungi luasnya
Sumatera, menjelajahi sahabat pena Marlena, mengunjungi mantan-mantan suami
Marlena sambil mencari hakikat kehidupan sebenarnya. Ukun dengan kemahirannya
dalam berbahasa Indonesia tampak amat menikmati perjalanan ini. Tamat yang
menjadi pemimpin perjalanan ini pun juga menikmati. Perjalanan yang
diperkirakan menghabiskan waktu satu bulan molor hingga dua bulan. Mereka
keluarkan segala usaha untuk menemukan keduanya agar bisa dibawa pulang kembali
pada Sabari.
Hari itupun tiba,
setelah perjalanan panjang dan waktu
yang tidak sebentar (sekitar 8 tahun) Sabari bertemu kembali anaknya. Anak yang
selama ini menjadi alasannya untuk hidup dan menghidupi sekitarnya telah
kembali bersamanya. Puisi-puisi indah kembali berlayar melalui diri Amiru dan
Sabari. Lena telah merelakan Zorro untuk kembali tinggal bersama ayahnya.
Kerasnya hidup nampaknya telah mengajarinya arti cinta ayah sesungguhnya.
Tentunya ia tidak ingin hal yang sama terjadi padanya dan ayahnya Markoni. Ia
pasti menginginkan Zorro berbakti dan kembali pada pelukan ayahnya, menemaninya
hingga akhir hayatnya. Memang cinta tidak pernah datang terlambat akan tetapi
cinta datang pada waktu yang tepat. Hal itu kiranya yang disadari oleh Marlena.
Akhirnya ia sadar yang paling mencintainya adalah Sabari, karena cintanya tidak
sebatas pada rupa indahnya tapi jauh melampaui itu, ia ingin anaknya, Zorro,
menjadi anak yang memahami arti kehidupan sebenarnya. Marlena kekal bersama
Sabari yang selalau bersamanya, di sampingnya, dalam ikatan nisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar