Rabu, 25 November 2015

Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, Sosok Ulama Hakiki.



Rasululullah SAW bersabda, sesungguhnya perumpamaan ulama dimuka bumi laksana bintang – bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya bumi dan lautan. Apabila cahayanya padam  maka jalan akan kabur. (H.R Ahmad). Indonesia adalah tanah sejarah, Indonesia adalah tanah islam dan Indonesia adalah tanah ulama. Salah satu ciri khas dari penyebaran islam di Indonesia adalah jalur penyebarannya yang berbeda dari mayoritas tanah timur tengah yang diperkenalkan lewat ekspansi era Khulafaur Rasyidin yang dilanjutkan beberapa dinasti kerajaan Islamselanjutnya. Islam masuk dan menyebar ke Indonesia melalui jalur perdagangan tanpa senjata tanpa paksaan. Hal ini membuka celah tersebarnya islam ke tanah Nusantara dengan pesat. Islam yang rahmah dan tasamuhnya dapat dengan mudah memikat hati rakyat Indonesia ketika itu untuk mendalami islam lebih dalam. Beberapa pemuda pun diutus mendalami ajaran Islam ditanah rantau.
Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi   adalah salah satunya, ulama kharismatik asal ranah Minangkabau yang  mengawali awal – awal langkah ulama Indonesia berguru islam langsung di tanah suci. Ahmad Khatib kecil  dilahirkan di Koto Tuo, kenagarian Balai Gurah, Kec. Ampek Angkek Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M dan wafat di Mekkah, pada hari Senin 8 Jumadi Awal 1334 H (1916 M). Secara garis keturunan Ahmad Khatib Al Minangkabawi mewarisi darah  ulama.dari kakeknya dan dalam riwayat lain buyutnya yang bernama Abdullah. Beliau  merupakan imam dan khatib di Kota Gadang, sehingga nama Khatib telah melekat pada namanya hingga keturunannya dinasabkan padanya. Ayahnya  dikenal dengan nama Abdul Lathif, seorang sholeh yang membentuk Ahmad Khatib kecil menjadi bakal ulama besar di zamannya. Dari tangan sang Ayahlah  Ahmad Khatib tumbuh menjadi remaja sholeh dengan bekal Ulum Mabadi dan hafalan beberapa juz Al Quran. Selain mendapatkan pendidikan dasar agama yang baik Ahmad Khatib kecil  mengenyam pendidikan formal di Kweek Scholl dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1871 M.

Hijrah
Sudah menjadi adat yang melekat pada pemuda Ranah Minangkabau untuk hijrah, dalam pepatah ulama dikutip. “Pergilah dan merantaulah maka akan kau temukan pengganti dari yang kau tinggalkan”. Selepas menamatkan sekolah rakyat, dan dirasa telah memiliki cukup bekal ilmu sang Ayah membimbing anaknya untuk sampai ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji, setelah rangkaian ibadah haji ditunaikan. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, sang Ayah kembali ke tanah air sementara Ahmad Khatib menetap di Mekah untuk menuntaskan hafalan al Qurannya dan  menimba ilmu pada ulama – ulama terkemuka disana khusunya yang berada dekat dengan Masjidil Haram.
                Diantara guru – guru Syeikh Ahmad Khatib adalah: Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I, Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’I, Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i penulis I’anatuth Thalibin, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di Mekah, Yahya Al Qalyubi, Muhammad Shalih Al Kurdi yang merupakan mertua dari syeikh Ahmad Khatib.
Sebagai penuntut ilmu, beliau merupakan teladan yang patut dijadikan qudwah hasanah. Syeikh Umar Abdul Jabbar menuturkan dalam Siyar wa Tarajim Hal 38-39, “Ia adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti matematika (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, ia dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru”.
Dalam hal fiqh beliau merupakan ulama terkemuka di Mekah dalam madzhab Syafi’ie. Banyak karangannya membahas tentang Fiqh Madzhab Syafi’e. tidak sampai disitu, satu hal lagi yang membanggakan umat islam nusantara. Beliau merupakan pemuda Indonesia  pertama yang di daulat menjadi imam Masjidil Haram. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan perihal diangkatnya beliau menjadi Imam, diantaranya adalah: Riwayat dari Syeikh Umar Abdul jabar yang menuturkan bahwa Syeikh Ahmad Khatib diangkat berdasarkan usul dari sang mertua Syeikh Sholih Kurdi kepada imam Masjidil Haram ketika itu Syeikh Syarif Aurur Rofiq. Agar sang menantu bisa menjadi imam di Masjidil Haram karena dinilai pantas dari wacana ilmu yang dikuasai. Sementara riwayat kedua datang dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan Buya Hamka yang menyebutkan bahwa ketika Syeikh Syarif Aunur Rofiq mengimami jamaah di Masjidil Haram hingga pada suatu ayat ada kesalahan dalam pembacaanya, dan ketika itu Syeikh Ahmad Khatib langsung meng-ishlah. Maka sejak saat itulah Syeikh Ahmad Khatib resmi diangkat menjadi Imam masjidil Haram.

Kitab Putih dan Kuning
Selain ahli dalam bidang agama yang meliputi Fiqh, Theologi, Sejarah dan mawaris, satu  hal yang patut dicontoh dari beliau adalah kegemarannya mendalami ilmu Alam. Banyak karya fenomenal lahir dari buah pemikirannya. Salah satunya dari bidang geometri  dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab. Selain itu syeikh Ahmad Khatib pun piawai dalam bidang matematik dan al jabar. Karya – karya beliau termaktub dalam manuskrip berbahasa arab dan melayu dalam huruf hijaiyyah.
Gagasan – Gagasan.
Sebagai seorang alim yang berdarah Indonesia, beliau menaruh banyak perhatian pada perkembangan tanah air. Beberapa gagasan hadir dari Syeikh Ahmad Khatib. Diantaranya gagasan beliau yang ingin  merubah adat dari suku minangkabau dalam hal mawaris (warisan) beliau menolak system yang dianut oleh adat Minangkabau yang menganut system Matrilinieal ( suatu adat masyarakat yang mengatur alur / garis keturunan berasal dari pihak ibu. Menurut adat Minangkabau harta warisan diwariskan kepada keluarga yang bergaris pada keturunan ibu, dan harta warisan tidak dimiliki secara pribadi melainkan secara kolektif sementara anak dari ayah atau ibu yang ditinggal hanya mendapatkan sebagian kecil dari hasil sebagai upah dari keterkibatan mereka .
Hal ini bertolak belakang dengan hukum waris yang berlaku dalam ajaran islam yang membagi warisan  dengan ketentuan anak laki laki mendapatkan dua bagaian dari anak perempuan. Pengetahuan agama yang didapatkan Syeikh Ahmad Khatib telah membentuk kepribadiannya yang tegas terhadap adat istiadat Minangkabau yang menyalahi aturan Islam. Segala bentuk gagasan beliau tentang harta pusaka beliau abadikan di dalam Al Da’I al Masmu’ Fi radd ‘alaa Yuwarritsu –ikhwah wa akhwat ma’a wujud  al Ushul Wal Furu’.
Gagasan lain yang banyak menjadi buah bibir adalah sikap tegasnya pada Thariqat Naqshabandiyah yang dinilainya telah keluar dari jalur Tauhid yang sesungguhnya. Ia menilai thariqat ini telah banyak melewati batasan – batasan yang harus dijaga oleh setiap muslim. Sontak hal ini banyak ditentang oleh penganut Thariqat Naqsyabandiyah yang banyak memiliki pengikut di Nusantara. Namun karena dasar dari ilmu yang dimiliki dan pengaruhnya pada banyak ulama tanah air gagasan ini banyak diterima oleh umat.
Murid
Selain produktif dalam karangan – karangan, Syeikh Ahmad Khatib juga berhasil membentuk pribadi – pribadi cendikia yang mewarnai nusantara. Pribadinya yang kharismatik dengan wawasan keilmuan yang tidak diragukan, dijadikan imam bagi para pemuda Nusantara untuk mengikuti jejak beliau berdakwah di tanah air. Diantara murid beliau yang muncul sebagai pembaharu adalah :Tuan Haji Muhammad Nur, Mufti Kerajaan Langkat, Tuan Syeikh Hasan Masum, Imam Paduka Tuan dan Mufti Kerajaan Deli ketiganya berasala dari Aceh dan Sumatera Utara, selanjutnya adalah ulama Kharismatik dari ranah Minang Haji Abdul Karim bin Amrullah ayah dari Buya Hamka pengarang Tafsir Al Azhar, tidak ketinggalan pendiri organisasi islam terbesar di Indonesia Nahdhotul Ulama K.H Hasyim Asyari, dan pendiri Muhammadiyyah, Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib, selanjutnya Ustadz Abdul Halim dari Majalengka –pendiri jam’iyyah I’anatul Muta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan AL Irsyad, dan Syeikh Abdurrahmah Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al banjari, Mufti kerjaan Indragiri.

Perjalan hidup Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy telah mencerminkan sikap dan sifat seorang ulama bangsa Indonesia yang zuhud dan cinta pada Ilmu, bangsa, dan agama,ditambah dengan pendirian tegas kepada hal – hal yang menyimpang dari ajaran islam. Hal inilah yang menjadikannya tetap dikenang oleh semua thullabul ‘Ilmy.  Sosoknya sebagai seorang muta’allim  yang hidup di tanah rantau  bisa dibilang lengkap dari sisi akademis. karena selain beliau aktif mendalami ilmu agama,beliau dapat menguasai ilmu dunia yang dapat dipraktekan menerangi dunia dari kejumudan dengan turut andil dalam pengembangan ilmu al jabar, matematika, dan geometri. Selain itu pendiriannya yang tegas dalam syariat juga memunculkan sifat hakiki seorang penuntut ilmu yang amar ma’ruf nahiy munkar, karena akan banyak tantangan dalam berdakwah. Bukti eksistensi keilmuan Syiekh Ahmad Khatib yang lain adalah datangnya pemuda – pemuda Indonesia kepadanya untuk berguru kepadanya, yang kelak akan menjadi pelopr pergerakan islam di Indonesia.   (ibnuidris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar