Sebuah dilema besar tampak menyelimuti umat
muslim di setiap penjuru dunia. Bagai berjalan tanpa lilin penerang di dalam
gulita hutan belantara, umat muslim selalu menjadi bulan-bulanan musuhnya.
Jangankan untuk membalas, bahkan hanya untuk bertahan saja butuh perjuangan
besar. Sedikit asap yang disulut dapat membakar rumah sekampung. Berbagai
strategi adu domba kaum imperialis mampu dengan mudah membombardir pertahanan
umat. Betapa dapat kita lihat berbagai macam luka menganga mencederai Islam dan
muslimin.
Hal ini tak terlepas dari
hilangnya sakralisasi peran ulama di dalam sebuah jasad yang dinamakan Islam.
Ulama bagaikan jantung yang memompa spirit kehidupan didalam umat islam. Peranannya
yang sangat vital di dalam menyusun sebuah miliu kehidupan yang nyaman kini
mulai sirna dikarenakan berbagai faktor penyebab. Dampak yang dihasilkan sangat
jelas nampak diantaranya persatuan umat hanya tinggal cerita, bangunan aqidah
runtuh oleh berbagai faham merusak, hingga kehidupan bermasyarakat sangat jauh
dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dan salafus salih.
KH
Hasan Basri berkata: ”Sejarah mencatat peranan ulama mengambil peran yang amat
penting dalam pembinaan , bimbingan masyarakat terkhusus dalam kehidupan
beragama, bermasyarakat dan bernegara.” Melihat betapa pentingnya peranan ulama
dalam kelangsungan kehidupan umat. Sedikitnya ada dua faktor yang perlu kembali
direkonstruksi oleh umat muslim dalam mengembalikan peranan ulama di
masyarakat. Faktor pertama datang dari internal
ulama sendiri dan faktor kedua datang dari umat muslim secara keseluruhan.
Didalam
internal ulama sendiri masih ditemukan beberapa hal mendasar yang kadang
terlupakan ketika menyampaikan risalah ilahiyyah. Buya Hamka seorang
ulama kharismatik asal tanah Padang dalam pidato perdananya sebagai ketua MUI
berkata, “Memang sangat berat memikul beban ini. Kalau gelar ulama kita terima
padahal perbaikan diri terutama peningkatan iman tidak kita mulai pada diri
kita sendiri niscaya akan turut hanyutlah kita dalam gelombang zaman seperti
sekarang. Dimana orang berkejar-kejaran karena dorongan ambisi dunia, mencari
pangkat mengambil muka kepada orang di atas, menjilat sehingga terdengar
suara-suara yang mengatakan ‘bahwa ulama bisa dibeli’. Tidak ! bapak – bapak yang
tercinta ulama sejati warasatul anbiya tidak bisa dibeli, janganlah Tuan
salah tafsir.” Keikhlasan ialah poin yang ingin diutarakan Buya Hamka dalam
momen tersebut. Keikhlasan yang hadir dalam setiap khidmah hanya untuk
mengharap ridho Allah SWT.
Selanjutnya
amanah yang perlu dijaga oleh para Pewaris Nabi adalah menjaga harmoni
kehidupan sesama muslim dengan menempatkan diri sebagai teladan diantara umat
dan penyambung nilai-nilai keislaman
sesuai dengan keadaan. Didalam keadaan tertindas atau terjajah ulama berperan
aktif untuk mengobarkan semangat jihad. Bangsa ini telah menjadi saksi
perjuangan Ulama dalam mengusir penjajahan dari tanah Nusantara. Begitupun para
ulama yang aktif di partai Masyumi selepas kemerdekaan dalam rangka berdakwah
melalui ranah politik. Hal ini menandakan kecerdasan para ulama menempatkan
diri dalam medan dakwah yang tersedia. Anas R.a meriwayatkan Rasulullah
bersabda: العلماء
أمناءعلي خلقه
Poin
terakhir adalah peran Ulama sebagai pemersatu umat. Rasulullah pernah bersabda
dalam sebuah hadis, bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya layak sebuah
bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Sebuah bangunan tidak akan
pernah kokoh selama dalam sebuah kesatuan terdapat musuh dalam selimut. Maka
para Ulama selayaknya hadir untuk saling bertoleransi antar faham yang menjamur
di masyarakat selama itu masih dalam koridor syari’at. Mengedepankan kesatuan
sungguh lebih diutamakan daripada mengedepankan kehendak diri tanpa
pertimbangan kondisi umat. واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا(ال
عمران 103)
Sementara
faktor eksternal (luar ulama) terdapat pada hal-hal yang bersifat etis umat kepada
ahlul ‘ilmy. Ada sebuah anekdot masyhur di khalayak. Dahulu kala ulama
yang menghujat awam, kini tak jarang terlihat seorang awam yang menghujat
ulama. Hujatan disini dapat dikatakan arahan, nasihat, atau bisa jadi sebuah
penerapan hukum yang diberikan kepada awam. Kini zaman beralih ke zona dimana
hadir seorang awam dengan sembarang merendahkan, menghina bahkan menghujat
keberadaan ulama. الناس أعداء ما جهلوا. Kerancuan sudut pandang muslim seperti ini telah terpengaruhi
oleh gaya barat menjadi salah satu faktor terbesarnya. Hingga tata krama dan
etika hanya menjadi isapan jempol semata.
Bagi seorang muslim terdapat hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam berinteraksi dengan ulama: yang pertama adalah
mencintai ulama, Ibnu Mubarak R.A berkata: “jadilah seorang ‘alim, atau
muta’allim, atau pecinta keduanya, dan jangan menjadi yang keempat maka kau
akan binasa.” Kedua menghormatinya, Imam Syafi’ie R.A berkata:
“Sesungguhnya ketika aku berada dalam majelis Imam Malik R.A ketika akan
membalik halaman buku aku melakukannya dengan sangat perlahan, hanya karena
takut bila guruku (Imam Malik) mendengar suara lembaran yang berpindah halaman
dan merasa terganggu olehnya.” Hal ini berlaku pula ketika kita hendak
memanggil atau mendoakan Ulama. Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian
menjadikan panggilan Rasul diantara kalian sebagaimana panggilan diantara
kalian. Dan Ulama adalah pewaris para Rasul. Dan Yang terakhir adalah menyebarkan
kebaikan ulama tersebut kepada manusia. Selayaknya bagi seorang muslim
untuk menyebutkan hal-hal baik tentang ulama diantara saudaranya. Karena dari
merekalah intisari gama dan kehidupan diperoleh.
Umat
muslim adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Jika salah satu kesakitan
maka selayaknya sebagai saudara kita merasakan sakit yang serupa. Perlu diingat
hingga akhir zaman cobaan dan rintangan untuk muslim akan terus berganti
seiiring bergantinya zaman. Maka tak ada pilihan lain selain bersatu menyatukan
barisan mengembalikan kembali fitrah ulama pada tempatnya untuk membina umat
menuju lebih baik. (ibnuidris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar