Sabtu, 23 Juli 2016

Revitalisasi Peran Ulama


                 Sebuah dilema besar tampak menyelimuti umat muslim di setiap penjuru dunia. Bagai berjalan tanpa lilin penerang di dalam gulita hutan belantara, umat muslim selalu menjadi bulan-bulanan musuhnya. Jangankan untuk membalas, bahkan hanya untuk bertahan saja butuh perjuangan besar. Sedikit asap yang disulut dapat membakar rumah sekampung. Berbagai strategi adu domba kaum imperialis mampu dengan mudah membombardir pertahanan umat. Betapa dapat kita lihat berbagai macam luka menganga mencederai Islam dan muslimin.

                Hal ini tak terlepas dari hilangnya sakralisasi peran ulama di dalam sebuah jasad yang dinamakan Islam. Ulama bagaikan jantung yang memompa spirit kehidupan didalam umat islam. Peranannya yang sangat vital di dalam menyusun sebuah miliu kehidupan yang nyaman kini mulai sirna dikarenakan berbagai faktor penyebab. Dampak yang dihasilkan sangat jelas nampak diantaranya persatuan umat hanya tinggal cerita, bangunan aqidah runtuh oleh berbagai faham merusak, hingga kehidupan bermasyarakat sangat jauh dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dan salafus salih.
KH Hasan Basri berkata: ”Sejarah mencatat peranan ulama mengambil peran yang amat penting dalam pembinaan , bimbingan masyarakat terkhusus dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.” Melihat betapa pentingnya peranan ulama dalam kelangsungan kehidupan umat. Sedikitnya ada dua faktor yang perlu kembali direkonstruksi oleh umat muslim dalam mengembalikan peranan ulama di masyarakat.  Faktor pertama datang dari internal ulama sendiri dan faktor kedua datang dari umat muslim secara keseluruhan.
Didalam internal ulama sendiri masih ditemukan beberapa hal mendasar yang kadang terlupakan ketika menyampaikan risalah ilahiyyah. Buya Hamka seorang ulama kharismatik asal tanah Padang dalam pidato perdananya sebagai ketua MUI berkata, “Memang sangat berat memikul beban ini. Kalau gelar ulama kita terima padahal perbaikan diri terutama peningkatan iman tidak kita mulai pada diri kita sendiri niscaya akan turut hanyutlah kita dalam gelombang zaman seperti sekarang. Dimana orang berkejar-kejaran karena dorongan ambisi dunia, mencari pangkat mengambil muka kepada orang di atas, menjilat sehingga terdengar suara-suara yang mengatakan ‘bahwa ulama bisa dibeli’. Tidak ! bapak – bapak yang tercinta ulama sejati warasatul anbiya tidak bisa dibeli, janganlah Tuan salah tafsir.” Keikhlasan ialah poin yang ingin diutarakan Buya Hamka dalam momen tersebut. Keikhlasan yang hadir dalam setiap khidmah hanya untuk mengharap ridho Allah SWT.
Selanjutnya amanah yang perlu dijaga oleh para Pewaris Nabi adalah menjaga harmoni kehidupan sesama muslim dengan menempatkan diri sebagai teladan diantara umat dan  penyambung nilai-nilai keislaman sesuai dengan keadaan. Didalam keadaan tertindas atau terjajah ulama berperan aktif untuk mengobarkan semangat jihad. Bangsa ini telah menjadi saksi perjuangan Ulama dalam mengusir penjajahan dari tanah Nusantara. Begitupun para ulama yang aktif di partai Masyumi selepas kemerdekaan dalam rangka berdakwah melalui ranah politik. Hal ini menandakan kecerdasan para ulama menempatkan diri dalam medan dakwah yang tersedia. Anas R.a meriwayatkan Rasulullah bersabda:  العلماء أمناءعلي خلقه
Poin terakhir adalah peran Ulama sebagai pemersatu umat. Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadis, bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya layak sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Sebuah bangunan tidak akan pernah kokoh selama dalam sebuah kesatuan terdapat musuh dalam selimut. Maka para Ulama selayaknya hadir untuk saling bertoleransi antar faham yang menjamur di masyarakat selama itu masih dalam koridor syari’at. Mengedepankan kesatuan sungguh lebih diutamakan daripada mengedepankan kehendak diri tanpa pertimbangan kondisi umat. واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا(ال عمران 103)
Sementara faktor eksternal (luar ulama) terdapat pada hal-hal yang bersifat etis umat kepada ahlul ‘ilmy. Ada sebuah anekdot masyhur di khalayak. Dahulu kala ulama yang menghujat awam, kini tak jarang terlihat seorang awam yang menghujat ulama. Hujatan disini dapat dikatakan arahan, nasihat, atau bisa jadi sebuah penerapan hukum yang diberikan kepada awam. Kini zaman beralih ke zona dimana hadir seorang awam dengan sembarang merendahkan, menghina bahkan menghujat keberadaan ulama. الناس أعداء ما جهلوا. Kerancuan sudut pandang muslim seperti ini telah terpengaruhi oleh gaya barat menjadi salah satu faktor terbesarnya. Hingga tata krama dan etika hanya menjadi isapan jempol semata.
 Bagi seorang muslim terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berinteraksi dengan ulama: yang pertama adalah mencintai ulama, Ibnu Mubarak R.A berkata: “jadilah seorang ‘alim, atau muta’allim, atau pecinta keduanya, dan jangan menjadi yang keempat maka kau akan binasa.” Kedua menghormatinya, Imam Syafi’ie R.A berkata: “Sesungguhnya ketika aku berada dalam majelis Imam Malik R.A ketika akan membalik halaman buku aku melakukannya dengan sangat perlahan, hanya karena takut bila guruku (Imam Malik) mendengar suara lembaran yang berpindah halaman dan merasa terganggu olehnya.” Hal ini berlaku pula ketika kita hendak memanggil atau mendoakan Ulama. Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian menjadikan panggilan Rasul diantara kalian sebagaimana panggilan diantara kalian. Dan Ulama adalah pewaris para Rasul. Dan Yang terakhir adalah menyebarkan kebaikan ulama tersebut kepada manusia. Selayaknya bagi seorang muslim untuk menyebutkan hal-hal baik tentang ulama diantara saudaranya. Karena dari merekalah intisari gama dan kehidupan diperoleh.
Umat muslim adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Jika salah satu kesakitan maka selayaknya sebagai saudara kita merasakan sakit yang serupa. Perlu diingat hingga akhir zaman cobaan dan rintangan untuk muslim akan terus berganti seiiring bergantinya zaman. Maka tak ada pilihan lain selain bersatu menyatukan barisan mengembalikan kembali fitrah ulama pada tempatnya untuk membina umat menuju lebih baik. (ibnuidris)
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar