Senin, 30 Januari 2017

Membangun Umat Dengan Bernegara


Hingga saat ini jumlah negara yang terdaftar dalam PBB adalah 193 negara termasuk Indonesia didalamnya. Ditambah  Palestina dan Vatikan sehingga jumlahnya 195 negara. Belum lagi negara-negara yang hingga sekarang belum diakui keberadaannya oleh PBB dikarena syarat kenegaraannya masih dianggap kurang. Negara-negara tersebut telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi 7,3 miliar penduduk dunia (sensus 2015). Setiap individu manusia di dunia ini telah terikat oleh minimal satu KTP (Kartu Tanda Penduduk) negara tertentu. Secara tidak sadar keterkaitan manusia dengan sebuah negara telah menjadi syarat bagi seseorang yang terlahir ke dunia ini. Ada yang terikat oleh negara tertentu dikarenakan kewarganegaraan orang tua -Ius Sanguinis- seperti Republik Indonesia dan ada pula yang terikat pada sebuah negara dikarenakan tempat kelahiran –Ius Soli- seperti Amerika Serikat. hemm.. apakah ini hanya sebuah kebetulan?

Tidak sampai disitu, setiap manusia  tumbuh dan berkembang dengan watak dan sifat yang sesuai dengan negara dimana ia lahir. Asupan pendidikan yang diberikan pun menyesuaikan nilai-nilai yang diakui oleh negaranya.  Sehingga bahasa, kepribadian, pakaian dan tingkah laku manusia itu sungguh  tidak keluar dari norma negara yang ditinggalinya. Ah, mungkin ini hanya kebetulan yang kesekian kalinya.

Dalam hal ini Ibnu kholdun dalam master piece-nya Muqaddimah menyatakan bahwa manusia adalah produk dari lingkungannya Al Insanu Madaniyyun Bithob’i. Hingga sampai titik ini saya berani berucap bahwa bernegara adalah tabiat dari seorang manusia dan lingkungannya.
Disadari ataupun tidak  umat manusia kini benar-benar telah ‘dikotak-kotaki’ oleh sebuah kosakata yang disebut negara. Lantas dari ratusan negara ini terbentuklah sebuah harmoni kemanusiaan dunia yang dinamis. Setiap negara menunjukan ke-eksistensiannya dengan berbagai cara; bahasa,budaya, agama, sejarah, alam, daratan, lautan, udara semuanya menjadi cermin identitas negaranya.  Tak ada iri, pamrih atau bahkan menyesal terlahir menjadi warga suatu negara. Semua warga dunia secara defacto seakan ‘rela’terlahir untuk tercatat sebagai  warga suatu negara tertentu. Bahkan dikarenakan sejarah, budaya, bahasa, kondisi alam suatu negara tak sedikit yang berbangga dengan negaranya. Hemm..Lantas sekali lagi apakah ini hanya sebuah kebetulan?

Lantas bagaimana sebuah negara dapat terbentuk? Konsep negara tidak serta merta terjadi tanpa sebab,  beberapa ketentuan dan mufakat bersama terlahir untuk sepakat membuat negara. Disana terdapat kumpulan komunitas manusia yang menempati sebuah daerah teritorial tertentu untuk rela diatur oleh sebuah pemerintahan. Kemudian, demi keamanan dan ketertiban maka dibuatlah peraturan dan undang-undang untuk memastikan tak ada warga yang dirugikan, batasan-batasan negara pun perlu dibuat untuk membatasi dan mencegah bagi komunitas manusia lainnya yang memiliki nilai dan tujuan tak sejalan memasuki daerahnya. Semuanya didesign agar rasa toleransi dan saling menghargai dapat tetap terjaga.

Satu hal yang perlu diketahui dari sejarah peradaban manusia dengan segala perkembangannya mengantarkan kita pada sebuah realitas sosial yang sudah selayaknya kita terima. Dalam hal ini saya menitikberatkan pada nilai berbangsa dan bernegara. Allah SWT berfirman dalam surat  Al Hujurat ayat 13:
 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“wahai umat manusia sesungguhnya kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Teliti.”

Berbangsa dan bernegara adalah sebuah ketentuan yang telah diatur oleh Sang Pencipta –Sunnatullah-. Jika dahulu kala manusia hidup nomaden, berpindah dari satu tempat ke lain tempat, dan hidup terkurung dalam nilai dan norma yang individualis. Maka sunnatullah mengajarkan kita untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas disebuah tempat yang disebut negara. Walaupun negara terlahir dari berbagai idealis dan dari berbagai kepentingan, namun para pendahulu seakan ingin mengatakan bahwa : “satu cita-cita telah menyatukan kami, ialah cita-cita untuk kehidupan yang lebih baik dan terlepas dari interfensi bangsa penindas”.

Indonesia adalah salah satu dari interpretasi sunnatullah itu. Ia merupakan salah satu dari Syu’ub yang disebutkan oleh Allah SWT di Surat al Hujurat tadi. Keberadaannya sekarang merupakan wujud dari kesatuan  visi dan misi berbagai etnis, kelompok, suku dan tentunya agama yang tinggal ditanah yang sama. Karena tidak ada satu agama pun yang mengajarkan penindasan dan kesewenangan antar sesama maka mereka (Rakyat Indonesia) bersama menggalang kekuatan untuk menghempaskan penjajahan di Nusantara.

Islam sebagai salah satu entitas besar dalam Negara Indonesia tak kalah besar  mengambil peranan  dalam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah mencatat bahwa tak sedikit darah dan keringat para ulama dan umat islam yang tercucur di medan perang mengusir para penjajah dari Tanah Khatulistiwa. Jiwa nasionalisme yang didasari agama terpatri dalam kalbu mereka sebagai upaya membentuk sebuah kesatuan di Indonesia.

Dalam hal ini (Nasionalisme) Rasulullah SAW dalam hadis-nya mengutarakan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani, Hakim dan Baihaqi:
 أحب العرب لثلاث: لأني عربي، والقرءان عربي، وكلام أهل الجنة عربي.
“Aku mencintai Arab karena tiga hal: karena aku adalah seorang Arab, Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab, dan bahasa yang digunakan oleh penduduk surga adalah bahasa Arab.”
Rasulullah dianugerahi Jawami’ul Kalim oleh Allah SWT,  setiap kata yang terucap dari beliau memiliki makna yang tersirat dan tersurat. Secara tersurat Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan Umat Arab dan Bahasa Arab yang menjadi perantara tersebarnya Islam didunia. Namun secara tersirat Rasulullah SAW menjelaskan bahwa dirinya pun manusia biasa yang terlahir dari sebuah komunitas biasa yang bernama Arab. Maka Beliau SAW mencintai Arab.

Sebagai muslim yang cendikia selayaknya kita menyadari tanda yang sangat jelas ini. Bahwa kini Allah SWT dan Rasul-Nya telah mengisyaratkan medan pembangunan masyarakat yang  lebih spesifik. Ditandai dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Islami pada tahun 1924 di Turki,  menyusul dengan terpecah belahnya umat islam setelah Perang Dunia I dan II dan terpecah belahnya umat islam menjadi kedalam negera-negara kecil. Maka Negara dengan Nasionalisme adalah wadah utama pembangunan umat.

Akan tetapi perlu dipahami bahwa Negara adalah sekumpulan individu yang berasal dari berbagai nilai, ideologi, ras, keturunan dan agama yang menempati wilayah tertentu dan diorganisasi oleh pemerintah. Asas-asas toleransi dan tenggangrasa perlu dikedepankan dalam proses pembangunan. Maka seseungguhnya nilai yang paling tepat diterjemahkan dalam pembangunan negara adalah kebersamaan, saling mencintai dan menghormati antar sesama.

Nilai-nilai ini sudah terkandung secara eksplisit dalam surat An Nahl ayat 125:
  ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuahnmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka danegna cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Dikala suhu politik dunia sedang memanas seperti sekarang, selayaknya agama dan nilai kasihnya yang religius dapat menjadi sebuah solusi yang membangun bukan sebaliknya malah menjadi bumerang yang menyerang diri sendiri. Dewasa ini banyak kekerasan dan kelaliman yang terjadi mengatasnamakan agama sebagai landasan. Sungguh hal ini merupakan  sebuah kepicikan, karena negara bukan saja tidak mengajarkan kekerasan namun sangat menentang kelaliman yang terjadi di dunia.

Pembangunan masyarakat melalui agama menjadi hal yang niscaya di zaman ini tentunya dengan menyesuaikan metode dan nilai yang patut di aplikasikan. Maka nilai-nilai egosentris individualis dan diktatoris gaya Adolf Hitler yang telah membunuh jutaan kaum Yahudi atau Abul Abbas Assafah yang Membantai Saudara se-Iman dari Bani Umayyah telah habis masanya selayaknya dikesampingkan dan lebih mengedepankan nilai kemanusiaan yang lebih Rahmatan lil Alamin.