Kamis, 05 September 2019

Saya dan 4 Tahun Tinggal di Darrosah

9 September, 2015, saat tiba di Ardhul Kinanah


"Catatan singkat ga penting-penting amat tentang lingkungan tempat saya tinggal."

Saya ditakdirkan untuk tinggal di Darrosah. Hingga kini, atau tepatnya tiga tahun, sebelas bulan. Kurang beberapa hari lagi tepat 4 tahun saya bertempat tinggal di Darrosah, sebuah muhafazah, wilayah setingkat kecamatan di pinggiran kota Kairo, Mesir. Sebuah daerah yang kaya akan nilai sekaligus  situs sejarah, karena diapit oleh dua masjid kebanggaan rakyat Mesir. Masjid Al Azhar dan Masjid Sayyidina Husein. Dua masjid fenomenal yang masing-masing menggambarkan peradaban yang saling menguatkan. Masjid Al Azhar menggambarkan keilmuan, dan Masjid Sayyidina Husein menggambarkan akhlak Islam, cinta Ahlul Bait. Keduanya mampu saya tempuh sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Semuanya berawal dari request saya pada Fahri Ganiardi, kakak kelas di Gontor dulu. “Ri, pokoknya gw pengen Flat deket kampus. Tempatin gw di sana! Karena kedekatan kami, dan status Fahri yang saat itu menjadi senior di IKPM Kairo, keinginan saya pun terkabul. Alasan saya ingin bertempat tinggal di sana  sebenarnya klasik, yaitu ingin lebih dekat dengan dunia akademik, karena saat itu perspektif mahasiswa Al Azhar yang urakan dan lebih banyak main masih menempel di kepala saya. Walaupun sempat terganggu dengan kata-kata Fahri yang mendeskripsikan lingkungan dekat perkuliahan dengan kumuh dan kotor, bagi saya itu masih lebih baik daripada projek tahun pertama saya tinggal di Mesir banyak terganggu.

Saya akhirnya tiba di Mesir pada tanggal 9, bulan September, tahun 2015, di Terminal 1 lama. Dan perjalanan pun dimulai. Saya masih ingat, saat itu musim panas memang sedang puncak-puncaknya. Saya lebih fokus pada penyesuaian badan dengan iklim dan cuaca yang baru daripada menelaah hal lain dari lingkungan tempat saya tinggal. Satu hal yang belakangan baru saya sadari adalah, saya tinggal di lingkungan semi industri, di mana pabrik-pabrik mikro home industri tersebar dan menjamur di sana. Hal ini tentunya tidak terlepas dari letaknya sebagai penyangga dua pasar besar di sekitarnya, yaitu Khan Khalili (pusat oleh-oleh termasyhur di Mesir) dan pasar Attaba (pasar tradisional warga Kairo).

Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan flat yang dikelilingi pabrik sepatu dan pernak-pernik oleh-oleh tentunya. Namun realita itu membuat saya terpaksa mengakui bahwa sampah dan limbah industri tentunya akan menjadi makanan mata sekaligus parfum memuakkan sehari-harinya. Belum lagi kebiasaan penduduk daerah ini terbilang kurang terdidik untuk bersih. Berbagai macam sampah,  baik daur ulang maupun tidak dapat didaur ulang, hingga maaf, sampah yang seharusnya tidak layak dibuang tanpa bungkusan seperti pembalut wanita atau pampers bekas bayi  selalu menjadi pandangan sehari-hari berceceran di jalanan.

Pada tahun 2018 lalu sebenarnya pemerintah setempat sempat mengkampenyekan sebuah gerakan kebersihan bertajuk “khallik zay aadam, matirmisy hagah alal ardh.” Gerakan ini kurang lebih berarti ‘jadilah dirimu seperti nabi Allah Swt Adam, yang memulai peradaban kebaikan di dunia. Jangan merusaknya dengan cara membuang sampah sembarangan.’ Gerakan ini bersambut dengan dimunculkannya puluhan tempat sampah plastik berwarna hijau yang ditempel di pinggir-pinggir jalan besar. Dapat anda  tebak tentunya, kesadaran pemerintah tidak dibarengi dengan kesadaran warga, sehingga tempat sampah itu tidak lama hilang ditelan zaman. Sebagian dicuri, sebagian lagi rusak oleh tangan jahil warga.

Gerakan tersebut hanyalah isapan jempol sesaat. Tentu tak berdampak ke flat-flat sewaan kami, yang jauh masuk ke dalam haarat-haarat (seperti gang) kecil. Mungkin banyak mahasiswa overseas memilih lingkungan ini sebagai tempat tinggal karena dekat dengan aktivitas perkuliahan, baik formal maupun non formal. Kebetulan kampus utama universitas Al Azhar juga berada di lingkungan ini dengan tiga fakultas pamungkasnya, Ushuludin, Syariah dan Bahasa Arab. Walaupun hal itu tidak berlaku bagi saya yang ngampus di bilangan district 6. Namun bagi saya yang sudah lima kali pindah flat dalam lima tahun alasan klasik itu bagai pekat bau kotoran anjing yang saya hirup hampir tiap hari. Sekejap tajam, namun segera hilang.

Mengapa klasik? Simpelnya, karena saya tau alasan seperti ini harus ada masanya, dan sebaiknya dirasakan sejak awal. Roda kehidupan akan terus berjalan. Maksud saya, di masa depan, kawan-kawan baru tentunya akan menggantikan posisi saya sebagai mahasiswa Al Azhar. Dan alasan klasik seperti dekat dengan kampus sekarang tidak lagi bisa meligitimasi Anda untuk tinggal di Darrosah. Karena banyak pula mahasiswa Indonesia di luar lingkungan ini yang intensitas kehadiran kuliahnya melebihi kawan-kawan saya yang memang sehari-harinya memandang kampus dari jendela flat mereka.

Mungkin alasan lain yang bisa mewakili sebagian anggapan mahasiswa Indonesia adalah efisiensi waktu dan saku. Tentu mahasiswa kita akan lebih mengutamakan tempat tinggal yang sepuluh atau lima belas menit dari kampus daripada satu jam dari flat. Untuk alasan ini tampaknya dapat diterima oleh mahasiswa yang kerap jarang mengaktifkan jam paginya. Saya kerap melihat banyak catatan baik blog atau vlog keseharian mahasiswa overseas lainnya, jarak mereka ke kampus memang berbeda, tapi mereka sepakat bahwa jarak bukanlah masalah apalagi alasan untuk telat ngampus.

Dan lagi uang saku serta ketahanannya selama sebulan tampak berpengaruh besar pada kantung mahasiswa. Terlebih setelah pemerintah Mesir menetapkan kenaikan harga bahan bakarakhir-akhir ini, yang tentunya sangat berpengaruh pada ongkos kendaraan. Terkadang memang untuk hal-hal baik kita merasa berat mengeluarkan uang saku, bahkan untuk sekedar ongkos ke kampus. Apalagi untuk membeli buku-buku rujukan. Hal sebaliknya terjadi jika kita ingin menghadiri kegiatan lain yang sesuai dengan tendensi pribadi. Mari kita muhasabah, apakah kegiatan organisasi, HUT kekeluargaan, olahraga, shopping di City Center atau ngopi di Starbucks dan Cilantro melebihi pentingnya pertemuan kita dengan Dosen dan Masyayikh Al Azhar?

Bukan, saya bukan ingin mengatakan bahwa lingkungan Darrasah tidak layak lagi untuk ditempati pelajar, tapi mari sejenak kita ngopi, ngolah pikir!. Wilayah Darrosah empat atau lima tahun yang lalu faktanya berbeda dari sekarang. Perbedaan ini yang menjuruskan fikiran saya agar sebaiknya adik-adik mahasiswa baru, atau para pengurus broker untuk kembali mengukur dan menimbang sebelum menguatkan ‘azzam bertempat tinggal di wilayah Darrosah.

Majelis ilmu tidak selalu menjadi tempat tinggal ‘alim.

Semua warga Mesir yang berkiblat pada Al Azhar pasti mengakui bahwa wilayah Al Azhar dan sekitarnya adalah pusat dari kajian keilmuan. Di sana terdapat mesjid Al Azhar dan bilik-biliknya (ruwaq), lembaga fatwa Mesir, Darul Ifta juga berada di sana, tepat di sampingnya gedung Masyikha (Kantor Grand Syeikh Al Azhar) juga berada di sana, fakultas-fakultas yang banyak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu juga ada di sana, belum lagi majelis ilmu non formal, atau yang kerap disebut talaqqy juga bertebaran di beberapa titik. Namun yang menjadi pertanyaan saya, mengapa jarang sekali dosen atau para masyayikh memilih tinggal di wilayah ini?

Seorang senior yang lebih dahulu datang ke Mesir saya tanyakan tentang hal ini, beliau hanya bilang bahwa lingkungan ini ‘asywai, “maksudnya, daerah ini kumuh, banyak yang tidak berpendidikan tinggal di sini, coba  aja kamu bandingkan bahasa yang dipakai anak sini, lebih kasar dari yang kamu temukan di (daerah) Asyir atau (daerah) Sabi’.” Dalam hati saya mengamini apa yang dikatakan olehnya, untuk yang tinggal di lingkungan ini tentunya gurauan “rasa” rasis pasti sering sampai ke telinga. Ya shiniyy... Ya shiniyyy!.

Tentunya saya tidak mengetahui latar belakang pasti para masyayikh jarang menempati lingkungan ini. Mungkin sebagian alasan sudah saya sebutkan di paragraf-paragraf awal. Lingkungan industri, lingkungan yang kotor dan minimnya kesadaran warganya untuk bersih adalah sebagian dari alasan beliau-beliau. Saat Umroh pada bulan Maret kemarin saya bertemu dengan seorang pakar kristologi alumnus Lipia, Jakarta, kesan pertama dia dengan Mesir dan Al Azhar adalah lingkungan kampus yang kotor dan sampah yang bertebaran di mana-mana.

Seorang kawan yang juga telah lebih dari sembilan tahun menetap di Mesir menimpali bahwa untuk menjawab kegundahan ini saya hanya perlu menanyakan seorang supir taksi atau siapapun yang tinggal di luar lingkungan ini. Dan benar saja, saat seorang supir taksi saya ajak bicara tentang lingkungan kami belajar, air wajahnya seraya berubah. Kurang lebih kata-katanya seperti ini, “Yang benar saja kalian tinggal di sana, lingkungan itu adalah sarang para pengedar kelas kakap. Terkenal dengan bisnis narkotika yang sulit untuk dijamah pihak berwajib.”

Harga sewa flat tidak sesuai dengan fasilitas

Flat pertama saya berada di kawasan belakang masjid Sayyidina Husein. Lantai 1, dengan 2 kamar sederhana, ruang tamu 2 x 2 meter, dan sebuah lorong yang di sampingnya terdapat dapur dan kamar mandi. Saat itu pemilik rumah membandrol harga sewa sebesar 1250 le (saat  itu sekitar 2.1 juta rupiah). Harga yang lumayan besar untuk fasilitas minimum yang kami dapatkan. Dengan harga seperti itu, saya lihat kawan-kawan lain bisa mendapatkan flat baru dengan 3 kamar besar. Apalagi saat itu, saya dan kawan se rumah mendapatkan tugas tambahan, yaitu membasmi tikus-tikus yang bersemayam di ruang antara dapur dan kamar mandi. Untung ada Maulana Taftanzani, dialah pawang tikus rumah saya. Syukron, Maulana.

Saat itu belum ada eksodus besar-besaran pelajar asing ke wilayah ini, di jalanan saya juga masih jarang melihat wajah-wajah khas Asia Tenggara. Warga Mesir masih banyak asing pada kami yang memang tak seberapa orang. Kami masih jadi “benar-benar” warga asing. Teringat saat pulang dari masjid menggunakan sarung dulu, sontak senior saya tertawa, “lu beneran ke mesjid pakai sarung?, di sini sarung tu digunain buat orang-orang jima’”. Pantas saja, sepanjang pulang tadi, lirikan gemas dan lucu terus mengikuti kibaran sarung yang saya gunakan. Sekarang, sarung bukan hal aneh bagi warga setempat. Sampai-sampai tak jarang saya lihat Masisir menggunakan sarung menaiki bis 80/. Mungkin biar lebih sepoi-sepoi ya dihempas angin.

Saat ini, apalagi saat  malam-malam bulan puasa anda akan temukan suasana seperti desa Anda di Mesir, para pria menggunakan sarung dan songkok, sementara wanitanya ayu dengan balutan mukena. Tentunya ini mengindikasikan adanya praktek akulturasi yang kuat di lingkungan saya berada. Para pelajar asing hari ini tidak sungkan untuk bergaul dengan warga Mesir, bahkan saya pernah menemukan seorang yang kedapatan mengutang sebungkus rokok di baqalah (warung kecil) dekat rumah saya. Tidak lama setelah saya melihat kejadian itu, tersebar kabar di laman gawai Masisir, kalau ada yang merokok di lingkungan kampus. Dalam hati, saya bergumam, “parah banget ya, udah rokoknya ngutang, eh malah nyebat di pelataran kampus.”  

Baiklah, mari kembali ke laptop. Tapi sebelum kembali membahas tentang harga sewa flat hari ini, agar lebih bijak mari kita melihat tabel berikut:

Tabel di atas merupakan pergerakan rupiah atas pond Mesir dan sebaliknya dalam 5 tahun. Dari sana dapat kita lihat bagaimana pond Mesir mengalami inflasi besar-besaran pada pertengahan 2016. Saat itu, rakyat Mesir menderita, dan pelajar asing tentunya bahagia. Butuh waktu beberapa bulan hingga harga barang-barang menyesuaikan dengan kurs mereka. Termasuk harga sewa flat.

Sekarang ini (setelah 5 tahun) harga sewa flat pelajar asing wilayah ini minimal sudah mencapai minimal 2500 le. Tidak jarang saya temukan harga yang lebih besar. Harga yang dibayarkan nyatanya terkadang belum termasuk harga listrik dan air. Sebutlah untuk pengeluaran sebuah flat dengan listrik dan air 3000 (2.5 juat rupiah), walau tidak terlihat terlalu besar signifikansi kenaikannya (sekitar 400 ribu rupiah), tetap saja harga tersebut lebih besar dari yang bisa dilihat kawasan-kawasan lain yang banyak ditempati mahasiswa asing, seperti daerah district 10, Mikawy dan Tabbah yang masih kisaran di bawah 2000 le. Dari sini saya melihat harga sewa properti di Mesir relatif dapat terkendali, hanya saja terdapat faktor lain yang membuat harga melambung dengan cepat.

Mau tidak mau saya akan mengatakan bahwa eksodus besar-besaran pelajar asing ke daerah ini adalah salah satu faktornya. Ditambah lagi kurang kuatnya ikatan para pelajar asing menjaga harga sewa di lingkungannya menyebabkan dengan mudah para makelar untuk menaikkan harga sewa. Tidak terkontrolnya harga sewa properti seperti ini tentunya akan terus menerus terjadi jika mahasiswa asing sendiri tidak melakukan evaluasi atau paling tidak mengatur kembali sistem penempatan adik-adik kelas yang kelak akan datang ke Mesir ini. Peran organisasi induk sangat dibutuhkan menyoal permasalahan ini, karena hal ini tidak bisa diselesaikan oleh satu dua pihak.  

Saya tidak mau memperpanjang tulisan ini agar jadinya tidak membosankan. Mungkin ada yang sepakat atau tidak dengan opini ini. Itu biasa. Bagi yang tetap ingin tinggal di lingkungan Darrosah ya.. silahkan dan nikmati saja, dan bagi yang ingin bermigrasi ke lingkungan ini semoga catatan saya di atas dapat berguna untuk pertimbangan Anda. Pada akhirnya saya ingin menguatkan pernyataan awal saya, bahwa saya memang ditakdirkan untuk tinggal di Darrosah, tidak ada lagi pertimbangan lain. Kalian tahu kan sangat sedikit peran manusia perihal takdir. Kegiatan dan jadwal harian saya sangat tidak terganggu dengan lingkungan saya. Jadi saya tetap akan ngaji, kuliah, dan pergi ke tempat kegiatan lainnya seperti biasa bukan hanya karena saya tinggal di Darrosah, karena saya tahu itu hanya karena takdir.


Kamis, 15 Agustus 2019

Wada’an, Catatan Untuk Kawan-Kawan Saya yang Mau L.c.



Bulan Juli-September setiap tahunnya selalu jadi bulan-bulan derai haru bahagia bercampur kesedihan di antara kami, mahasiswa universitas Al Azhar. Bagaimana tidak, pada rentang waktu itu biasanya rektorat sudah mengeluarkan hasil ujian semester kelulusan. Bagi yang dinyatakan lulus tentunya akan lebih tenang untuk melanjutkan liburan musim panasnya, dan bagi yang dinyatakan belum lulus biasanya dia akan beberapa saat berkabung. Sebenarnya, ada satu kalangan Masisir yang saat ini sangat dirundung kegalauan, benar dia adalah mahasiswa yang telah dinyatakan lulus dari Al Azhar.

Bagi kawan-kawan saya yang baru saja menyelesaikan studinya tabir itu pasti perlahan terbuka. Sebuah tabir yang kelak kan jadi momok bagi pribadinya. Lanjut S2 atau tidak, kalau tidak lanjut S2 akan langsung pulang atau paling tidak menunggu Wisuda. Kalau memang wisuda tidak begitu berarti baginya, akan lebih baik langsung pulang alathul atau mungkin baik juga mengucap salam perpisahan dalam sebuah acara bertajuk wadaan?

Nampaknya untuk membahas satu-satu tentang kegalauan najihin akan menghabiskan banyak waktu pembaca. Maka dari itu, saya akan menulis tentang wada’an-saja-. karena kebetulan sekali dalam waktu dekat ini dua orang kawan se-angkatan saya pulang. Yang satu tidak ada kata, pesan bahkan tanda-tanda kalau dia akan pulang dengan sedimikian cepat. Teringat, beberapa hari sebelumnya saya masih menemuinya asyik masyuk dengan kegiatan hariannya, talaqqy.

Sementara lain lagi dengan satu kawan saya lainnya, sebut saja Bambang. Sebelum Bambang memutuskan untuk mengakhiri pengembaraannya di negeri Kinanah, Bambang sudah kerap kali terlibat pembicaraan dengan saya tentang masa depan.  Dan keputusannya sudah bulat, segera kembali dan mengabdi pada yayasan milik keluarganya atau segera mengurus jenjang pendidikan Magisternya. Tak ayal, jauh hari dia sebar undangan perpisahan di grup-grup Whatssap, beberapa orang yang dianggapnya penting tentu tak lupa diundang.

Biasanya, acara wada’an -sejauh yang saya amati- hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat yang memang menanam saham kenangan dalam diri shohibul hajat. Namun, jika shahibul hajat itu pribadi yang cukup tenar, mantan Presiden, MPA, mantan Gubernur atau yang semacamnya, yang-memungkinkan-dia-memiliki banyak-adik, acara selametan ini mungkin bisa dilaksanakan di aula-aula kekeluargaan. Namun bagi pribadi sederhana dan bersahaja, rumah pribadi menjadi aula terbaik menjamu para tamu terdekatnya.

Gustave Le Bon, seorang ahli psikologi kemasyarakatan mengatakan bahwa seorang individu akan melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan pengaruh dari masyarakatnya. Dan kondisi sosial masyarakat Masisir -sebagaimana yang kita ketahui- amat sangat kental dengan tradisi ke-bersamaannya. Tentunya, tanpa mengurangi hormat kepada kawan-kawan yang memilih untuk ber-wada’an dan tidak ber-wada’an pasti memiliki alasan tersendiri. Akan tetapi jika boleh memilih, saya akan sangat mengapresiasi kawan yang rela memberikan seutas kata atau paling tidak salam bahwa persahabatan kita tidak hanya di sini, akan tetapi akan terus berlanjut sampai nanti di Indonesia, bahkan sampai surga-Nya nanti.

Lebih jauh mengomentari teori Gustave,  pada akhirnya saya akan bertanya-tanya kepada kawan  yang tidak meninggalkan jejak sebelum kepergiaannya tadi. Apakah kawan saya ini memang tidak terpengaruhi sama sekali oleh tradisi sosial masyarakatnya? Atau, mungkin sebenarnya ia memiliki komunitas tertentu akan tetapi tidak memberikan banyak dampak signifikan pada dirinya? Atau justru ada alasan lain di balik itu semua, seperti keadaan psikologi tertentu yang menyatakan “ane ga penting buat temen-temen, jadi ya sudahlah, ane pulang aja, urusan pamitan nanti saja di grup Wa.”

Saya sendiri tidak mau menerapkan kiro-kirologi untuk menjawab persoalan tadi. Masisir sendiri memang terdiri dari berbagai kalangan, latar belakang, suku, adat dan bahasa yang beraneka. Belum lagi jika memang ada kondisi darurat tertentu yang mengharuskannya cepat pulang ke tanah air, dipanggil mertua misalnya. Hehe. Jadi, selain karena teori Gustave tadi, masih banyak faktor yang melatar-belakangi seseorang untuk pulang begitu saja.

Terlepas dari semua teori tadi kehidupan kita memang tentang pertemuan dan perpisahan. Begitulah adanya. Ada satu masa kita berkenalan dengan hal baru dan kawan baru, lantas terus berlanjut berbicara dan berkomunikasi untuk bisa saling mengambil dan menebar manfaat, dalam bahasa Al Quran-nya li ta’arafuu, selanjutnya kita akan saling menjaga dan membantu, tidak jarang hingga yang berakhir pada sebuah hubungan yang lebih jauh lagi.

Di saat itu, kita dengan sangat berani melabeli kawan seperjuangan itu dengan kata “keluarga”. Sebuah manivestasi dari Q.s Al Hujurat ayat 10, Innamal mu’minuuna ikhwah. Mulai dari situ, kita se-rasa, se-perasaan, se-sakit, se-bahagia. Bahkan tentang persaudaraan ini, Rasulullah Saw menggambarkannya  dengan jasad. Jika jasad bagian manapun merasakan perih, maka seluruh badan akan terasa perih. Jadi kawan, kalau kamu sakit saya merasakan hal yang sama.

Saya yakin, jika memang semua langkah kebaikan dimulai dari hal yang paling kecil, maka menjaga hubungan persaudaran adalah salah satunya. Perjuangan menuntut ilmu di negeri antah berantah ini adalah suatu hal langkah besar dalam hidup. Dan mungkin tidak akan pernah terulang kembali di kehidupan lainnya. Terakhir kawan, bukanlah jamuan yang kau hidangkan saat kita bertatap yang menjadikan semuanya berarti, akan tetapi doa yang sama-sama kita panjatkan pada Sang Pencipta yang telah mempertemukan kita adalah inti dari segalanya.

Rabu, 24 Juli 2019

Review Novel Ayah Karya Andrea Hirata



Sejujurnya ini adalah pengalaman pertama saya membaca karya Andrea Hirata. Hal ini tentunya tidak mengurangi hormat saya pada beliau yang karyanya telah banyak menginspirasi banyak orang, membuka cakrawala nusantara yang terkadang tertutup oleh media mainstream yang pemberitaannya tidak sesuai dengan kebutuhan anak negeri, dan mengupas jauh keindahan alam Indonesia yang mempesona melalui paragraf-paragraf karyanya. Sebelumnya saya ingin jujur, saya merupakan penikmat karya fiksi musiman. Musim liburan, musim penat, musim galau adalah musim-musim yang tepat bagi saya untuk menikmati fiksi. Salah memang, karena saya sendiri percaya, semua karya bermula dari fiksi. Tidak ada yang benar-benar nyata di bumi ini kecuali kitab suci. Bahkan kitab suci yang saya Imani dipenuhi dengan kisah-kisah inspiratif yang gaya penulisannya sangat mirip dengan penulisan kisah fiksi di novel-novel.

Baiklah, mari kita kembali ke novel yang saya temukan di barisan buku-buku milik kawan saya, Ahmad Faisal alias Azrul Faisal Kaizen. Kawan dekat saya mahasiswa Al Azhar jurusan Syariah dan Hukum, namun aktif sebagai pengisi Ruwat Cerpen di Komunitas Budaya Akar –salah satu komunitas budaya dan sastra di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir-. Sungguh kolaborasi minat yang lengkap bagi saya. Seorang yang menyenangi hal yang sifatnya kaku, mengatur dan memiliki otoritas pada kehidupan, yang dinamakan hukum, sekaligus menggandrungi kata yang memang tidak memiliki ibu, dia terlahir dari segala dan sangat mungkin untuk ditaruh di manapun. Karya sastra terkadang terlahir dari benda mati macam batu dan gunung. Kadang juga dia terlahir dari pemeran nyata bagai raja-raja Nubia. Sampai saat ini saya belum bisa membaca genre apa yang digemari oleh Faisal, karena di rentetan bukunya terdapat banyak tema: Aksi, drama, romansa dlsb.

Selepas ujian Universitas Al Azhar termin 2,  dari rak buku Azrul saya mengambil salah satu novelnya, Ayah, karya Andrea Hirata, seorang Sastrawan asal Belitong, kepulauan Bangka Belitung. Sebelumnya saya belum begitu berniat untuk membaca novel ini karena penulis dan karya-karyanya tentunya. Namun karena saat itu saya sedang disibukkan dengan berbagai hal lain, akhirnya novel ini hanya menjadi penghias meja membaca. Akan tetapi saya enggan mengembalikan novel ini ke tempatnya agar senantiasa teringat untuk segera menyegarkan jiwa saya dengan sastra, karena saya merasa bahwa sastra dapat menjadi penawar dari hal-hal pasti menjemukan dan terkadang beracun (karena dikonsumsi berlebihan) seperti diktat-diktat perkuliahan Al Azhar.

Andrea Hirata nampaknya sudah begitu pengalaman mengaduk perasaan pembacanya. Dia bukan tipe penulis yang berapi-api di awal, dia membawa pembaca ke ruangan pribadi miliknya yang dipaksanya untuk bersabar meniti baris demi baris untuk tiba pada sesuatu yang saya anggap agak “aneh jika ada tokoh seperti ini”. Dalam perjalanan membangun tokohnya, Sabari, kiranya ia perlu menghabiskan tinta hingga ratusan halaman di awal sebelum membangun konflik-konflik lain dengan tokoh pendamping macam Marlena, Markoni, Izmi, dan Zubaidah. Tokoh-tokoh yang dikisahkan menjadi sahabatnya juga memiliki peran lebih dari sahabat kiranya. Mereka sungguh dapat menjadi role modele rekan yang ada saat Sabari hanya menjadi murid biasa yang pandai di mata pelajaran Bahasa Indonesia, mereka juga ada saat Sabari dihinggapi kumbang-kumbang cinta pada sosok pujaannya, Marlena. Mereka rela dibuat “ikut” gila pada sosok Sabari hanya untuk menemaninya.
Salah satunya adalah aksi mereka saat membuat beberapa pucuk surat yang mengatasnamakan Lena, sapaan Marlena yang ditujukan pada Sabari. Mereka melakukan itu hanya agar Sabari merasa  bahwa cintanya tidak pernah benar-benar bertepuk sebelah tangan walau kenyataan berkata sebaliknya. 

Kisah kasih Sabari pada Marlena bagai Laila pada Majenun (Qois) bedanya, jika Qois dilabeli Majenun (gila) oleh masyarakat sekitarnya sementara Sabari disumpah serapahi gila justru oleh Lena. Lena tidak pernah mau pada sosok Sabari yang singkatnya memang bukan tipenya, jika benar-benar enggan dikatakan buruk rupa. Tapi itulah cinta Sabari, baginya cinta rupa adalah ukuran awal perasaannya. Sabari yang sangat berminat pada puisi telah menemukan dawat bagi untaian puisi-puisinya. Baginya sosok Marlena binti Markoni telah cukup untuk menjadi sebuah oase di tengah gurun di mana ia rela singgah hingga ajal menjemputnya. Namun apa daya, Marlena adalah seorang wanita keras kepala yang katanya bagai karang di pesisir pantai, butuh ribuan tahun untuk membuatnya tergerus. Dan nampaknya kesabaran air laut menerpa karang itu juga yang pada akhirnya menjadi guru sabar Sabari dalam kisahnya bersama Marlena.

Pembaca mungkin tidak pernah menyangka bahwa tokoh utama yang memerankan Ayah dalam karya Andrea adalah Sabari. Pasalnya sebelum Sabari benar-benar menerima seorang anak dari Lena, pembaca telah diberikan berbagai macam peranan Ayah seperti Amirza ayah Amiru alias Zorro , Markoni ayah Marlena atau bahkan Ayah Sabari sendiri. Walau keduanya menjadi sosok ayah akan tetapi pembaca pada akhirnya akan sadar bahwa mereka bukanlah sosok yang diinginkan Ayah oleh Andrea. Seorang ayah yang diinginkan Andrea adalah serupa manusia rupanya lebih indah dari bahkan bulan ke dua belas bagi anaknya. Dan Jika boleh dikalkulasikan ayah yang diinginkan oleh Andrea adalah sosok Bulan yang yang tidak hanya hadir pada bulan ke dua belas, tapi juga bulan-bulan lainnya dalam setahun, di berbagai bentuknya, walau bulan kecil dan samar, sabit, hingga purnama. Di sepanjang tahun, menemani anaknya yang setia memandanginya tanpa jemu, membacakan puisi, menggendong dan mengajari keikhlasan padanya di setiap waktu. Bagi Amiru, ayahnya Sabari hanya hilang sosoknya pada saat dibawa merantau oleh Marlena ke seantero Sumatera namun sinar kejujuran Sabari tampak selalu mengirigi Amiru.

Saat Sabari kehilangan Amiru alias Zorro adalah bagian yang bagi saya menyayat hati sekaligus puncak konflik yang dihadirkan oleh Andrea. Di saat Amiru mulai mengerti hidup melalui perjalanan dan untaian puisi yang dibuatnya bersama ibunya Marlena, di saat yang sama di negeri berbeda adalah sosok Sabari yang nyaris kehilangan kewarasannya karena kehilangan anak semata wayangnya. Kasihnya pada Zorro yang telah melewati kadar luas tujuh samudera dan tujuh benua nampaknya menjadi sinyal bagi kehidupannya yang kan hilang segalanya, usaha, kambing-kambing peliharaan, kepercayaan diri tapi tidak harga diri. Sosok Ukun dan Tamat kembali menjadi penolong Sabari. Mereka mengarungi luasnya Sumatera, menjelajahi sahabat pena Marlena, mengunjungi mantan-mantan suami Marlena sambil mencari hakikat kehidupan sebenarnya. Ukun dengan kemahirannya dalam berbahasa Indonesia tampak amat menikmati perjalanan ini. Tamat yang menjadi pemimpin perjalanan ini pun juga menikmati. Perjalanan yang diperkirakan menghabiskan waktu satu bulan molor hingga dua bulan. Mereka keluarkan segala usaha untuk menemukan keduanya agar bisa dibawa pulang kembali pada Sabari.

Hari itupun tiba, setelah perjalanan panjang dan  waktu yang tidak sebentar (sekitar 8 tahun) Sabari bertemu kembali anaknya. Anak yang selama ini menjadi alasannya untuk hidup dan menghidupi sekitarnya telah kembali bersamanya. Puisi-puisi indah kembali berlayar melalui diri Amiru dan Sabari. Lena telah merelakan Zorro untuk kembali tinggal bersama ayahnya. Kerasnya hidup nampaknya telah mengajarinya arti cinta ayah sesungguhnya. Tentunya ia tidak ingin hal yang sama terjadi padanya dan ayahnya Markoni. Ia pasti menginginkan Zorro berbakti dan kembali pada pelukan ayahnya, menemaninya hingga akhir hayatnya. Memang cinta tidak pernah datang terlambat akan tetapi cinta datang pada waktu yang tepat. Hal itu kiranya yang disadari oleh Marlena. Akhirnya ia sadar yang paling mencintainya adalah Sabari, karena cintanya tidak sebatas pada rupa indahnya tapi jauh melampaui itu, ia ingin anaknya, Zorro, menjadi anak yang memahami arti kehidupan sebenarnya. Marlena kekal bersama Sabari yang selalau bersamanya, di sampingnya, dalam ikatan nisan.