Kamis, 15 Agustus 2019

Wada’an, Catatan Untuk Kawan-Kawan Saya yang Mau L.c.



Bulan Juli-September setiap tahunnya selalu jadi bulan-bulan derai haru bahagia bercampur kesedihan di antara kami, mahasiswa universitas Al Azhar. Bagaimana tidak, pada rentang waktu itu biasanya rektorat sudah mengeluarkan hasil ujian semester kelulusan. Bagi yang dinyatakan lulus tentunya akan lebih tenang untuk melanjutkan liburan musim panasnya, dan bagi yang dinyatakan belum lulus biasanya dia akan beberapa saat berkabung. Sebenarnya, ada satu kalangan Masisir yang saat ini sangat dirundung kegalauan, benar dia adalah mahasiswa yang telah dinyatakan lulus dari Al Azhar.

Bagi kawan-kawan saya yang baru saja menyelesaikan studinya tabir itu pasti perlahan terbuka. Sebuah tabir yang kelak kan jadi momok bagi pribadinya. Lanjut S2 atau tidak, kalau tidak lanjut S2 akan langsung pulang atau paling tidak menunggu Wisuda. Kalau memang wisuda tidak begitu berarti baginya, akan lebih baik langsung pulang alathul atau mungkin baik juga mengucap salam perpisahan dalam sebuah acara bertajuk wadaan?

Nampaknya untuk membahas satu-satu tentang kegalauan najihin akan menghabiskan banyak waktu pembaca. Maka dari itu, saya akan menulis tentang wada’an-saja-. karena kebetulan sekali dalam waktu dekat ini dua orang kawan se-angkatan saya pulang. Yang satu tidak ada kata, pesan bahkan tanda-tanda kalau dia akan pulang dengan sedimikian cepat. Teringat, beberapa hari sebelumnya saya masih menemuinya asyik masyuk dengan kegiatan hariannya, talaqqy.

Sementara lain lagi dengan satu kawan saya lainnya, sebut saja Bambang. Sebelum Bambang memutuskan untuk mengakhiri pengembaraannya di negeri Kinanah, Bambang sudah kerap kali terlibat pembicaraan dengan saya tentang masa depan.  Dan keputusannya sudah bulat, segera kembali dan mengabdi pada yayasan milik keluarganya atau segera mengurus jenjang pendidikan Magisternya. Tak ayal, jauh hari dia sebar undangan perpisahan di grup-grup Whatssap, beberapa orang yang dianggapnya penting tentu tak lupa diundang.

Biasanya, acara wada’an -sejauh yang saya amati- hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat yang memang menanam saham kenangan dalam diri shohibul hajat. Namun, jika shahibul hajat itu pribadi yang cukup tenar, mantan Presiden, MPA, mantan Gubernur atau yang semacamnya, yang-memungkinkan-dia-memiliki banyak-adik, acara selametan ini mungkin bisa dilaksanakan di aula-aula kekeluargaan. Namun bagi pribadi sederhana dan bersahaja, rumah pribadi menjadi aula terbaik menjamu para tamu terdekatnya.

Gustave Le Bon, seorang ahli psikologi kemasyarakatan mengatakan bahwa seorang individu akan melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan pengaruh dari masyarakatnya. Dan kondisi sosial masyarakat Masisir -sebagaimana yang kita ketahui- amat sangat kental dengan tradisi ke-bersamaannya. Tentunya, tanpa mengurangi hormat kepada kawan-kawan yang memilih untuk ber-wada’an dan tidak ber-wada’an pasti memiliki alasan tersendiri. Akan tetapi jika boleh memilih, saya akan sangat mengapresiasi kawan yang rela memberikan seutas kata atau paling tidak salam bahwa persahabatan kita tidak hanya di sini, akan tetapi akan terus berlanjut sampai nanti di Indonesia, bahkan sampai surga-Nya nanti.

Lebih jauh mengomentari teori Gustave,  pada akhirnya saya akan bertanya-tanya kepada kawan  yang tidak meninggalkan jejak sebelum kepergiaannya tadi. Apakah kawan saya ini memang tidak terpengaruhi sama sekali oleh tradisi sosial masyarakatnya? Atau, mungkin sebenarnya ia memiliki komunitas tertentu akan tetapi tidak memberikan banyak dampak signifikan pada dirinya? Atau justru ada alasan lain di balik itu semua, seperti keadaan psikologi tertentu yang menyatakan “ane ga penting buat temen-temen, jadi ya sudahlah, ane pulang aja, urusan pamitan nanti saja di grup Wa.”

Saya sendiri tidak mau menerapkan kiro-kirologi untuk menjawab persoalan tadi. Masisir sendiri memang terdiri dari berbagai kalangan, latar belakang, suku, adat dan bahasa yang beraneka. Belum lagi jika memang ada kondisi darurat tertentu yang mengharuskannya cepat pulang ke tanah air, dipanggil mertua misalnya. Hehe. Jadi, selain karena teori Gustave tadi, masih banyak faktor yang melatar-belakangi seseorang untuk pulang begitu saja.

Terlepas dari semua teori tadi kehidupan kita memang tentang pertemuan dan perpisahan. Begitulah adanya. Ada satu masa kita berkenalan dengan hal baru dan kawan baru, lantas terus berlanjut berbicara dan berkomunikasi untuk bisa saling mengambil dan menebar manfaat, dalam bahasa Al Quran-nya li ta’arafuu, selanjutnya kita akan saling menjaga dan membantu, tidak jarang hingga yang berakhir pada sebuah hubungan yang lebih jauh lagi.

Di saat itu, kita dengan sangat berani melabeli kawan seperjuangan itu dengan kata “keluarga”. Sebuah manivestasi dari Q.s Al Hujurat ayat 10, Innamal mu’minuuna ikhwah. Mulai dari situ, kita se-rasa, se-perasaan, se-sakit, se-bahagia. Bahkan tentang persaudaraan ini, Rasulullah Saw menggambarkannya  dengan jasad. Jika jasad bagian manapun merasakan perih, maka seluruh badan akan terasa perih. Jadi kawan, kalau kamu sakit saya merasakan hal yang sama.

Saya yakin, jika memang semua langkah kebaikan dimulai dari hal yang paling kecil, maka menjaga hubungan persaudaran adalah salah satunya. Perjuangan menuntut ilmu di negeri antah berantah ini adalah suatu hal langkah besar dalam hidup. Dan mungkin tidak akan pernah terulang kembali di kehidupan lainnya. Terakhir kawan, bukanlah jamuan yang kau hidangkan saat kita bertatap yang menjadikan semuanya berarti, akan tetapi doa yang sama-sama kita panjatkan pada Sang Pencipta yang telah mempertemukan kita adalah inti dari segalanya.