Minggu, 15 November 2020

Mengapa Mahasiswa Asal Mesir Lebih Terbuka dari Mahasiswa Timteng Lainnya?


Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Mesir berstatus mahasiswa. Lika liku perjalanan sebagai mahasiswa pas-pasan sudah hampir usai ku lalui. Di titik hampir menyelesaikan pendidikan strata S1 ini, tentunya banyak hal terlintas begitu saja menilai apa yang sudah terlewatkan. Tidak menutup pandangan, terkadang aku membandingkan kawan seangkatan dan yang sama mempelajari diskursus agama tentang apa yang telah mereka lalui dan tentunya output yang sama-sama dapat terlihat.

Banyak kalangan beranggapan membanding-bandingkan hanya akan memberikan dampak negatif, menunjukan perbedaan, mengacu pada perpecahan. Padahal jika melihat dari apa yang dipelajari, pelajar Islam di Timur Tengah harusnya bersatu dan memberikan titik terang yang seragam dalam melihat Islam. Wong, gurunya sama-sama arab, qurannya juga sama, hadisnya juga Sahih Bukhari-Muslim kenapa harus berbeda sudut pandang? Sekilas itu mungkin harapan umat di Indonesia, tapi kenyataannya...

Benar sekali kenyataannya tidak semanis harapan, hal ini tentunya karena berbagai hal. Sejak masa keruntuhan Dinasti Ottoman, praktis dunia Islam memang sudah terpecah, bahkan jauh sebelumnya kerajaan-kerajaan kecil di dunia Arab sudah mulai berdiri. Jadi kata kunci pertama adalah, dunia Arab memang secara geografis satu, begitu pun bahasa resmi, akan tetapi secara sosio-politik dan sudut pandang corak keagamaan dunia Arab kerap berbeda. Perbedaan ini yang tidak jarang mempengaruhi banyak mahasiswa asing yang belajar di dunia Arab.

Mesir sebagai salah satu negara timur tengah yang juga berseberangan dengan berbagai peradaban kuno macam Yuni, Romawi dan Mesir kuno itu sendiri memberikan corak tersendiri bagi sistem pendidikannya sendiri. Bisa jadi hal ini membuat, bahasa kedua dan ketiga negara ini adalah Prancis kemudian Inggris. Kami yang kuliah di Universitas Al Azhar sendiri diberikan pilihan untuk memilih mata kuliah bahasa asing, bisa Inggris atau Prancis. Tentunya pembaca akan dapat memastikan, hampir tiada seorangpun yang akan memilih bahasa Prancis.

Dari sisi peradaban arsitektur Mesir termasuk negara yang menjaga situs-situs bersejarahnya dengan baik. Karena itu masih banyak sekali ditemukan Istana yang telah dialih fungsikan sebagai musium, rumah ibadah kuno, dan banguna-bangunan peting lainnya. Di sekitar Kairo masih sering kita lihat bangunan-bangunan yang Instragamable kegemaran Mahasiswa Indonesia kalau lagi plesiran, setahu ku daerahnya di sekitar Down town, Kairo lama dan di sekitar Cornish, atau pinggir sungai Nil. Di lokasi tadi banyak peninggalan bangunan yang menunjukan beragam macam corak peradaban yang pernah singgah di Mesir seperti peradaban Mamalik, Fathimiyyah, dan masa Imperium Inggris dan Prancis.

Kawasan Cornish, tepat di sisi sungai Nil.

 
Kawasan Down town, Kairo.

Saya rasa sudah cukup menilik sekilas tentang bagaimana corak peninggalan berbagai penguasa di Mesir. Anda sendiri dapat mengunjunginya untuk memastikan. Selain itu dari sisi lain, Aku memiliki seorang teman yang pernah merasakan mengambil kursus bahasa Inggris di American University, salah satu kampus elit yang ada di Mesir. Teman ku yang lainnya punya majlis mingguan khusus membahas pemikiran tokoh-tokoh Islam dunia kontemporer di daerah Zamalek. Dan teman yang lainnya senang mengunjungi Rumah Opera Mesir, salah satu pusat seni budaya Mesir dan dunia Timur Tengah.Teman-teman ku itu, tidak lain dan bukan sama seperti ku, mahasiswa Universitas Al Azhar.

Kami di Al Azhar secara wawasan memang diberikan keleluasaan untuk mengeksplore Islam secara lebih terbuka. Walaupun menganut pembelajaran 4 mazhab dalam diskursus fikih, akan tetapi kami dibebaskan untuk menelaah literatur mazhab lainnya seperti zhahiriyah, zaidiyyah, dan bahkan Isna ‘asyariyyah. Dan walau secara teologi kami menganut asy’ariyyah, tidak jarang pula kami berdiskusi tentang golongan lainnya seperti mu’tazilah, jabriyyah, bahkan tidak jarang menelaah tentang wahabiyyah dan ahmadiyyah sebagaimana yang sedang marak di Indonesia. Seluruh literatur dari berbagai golongan keagamaan yang aku sebut tadi benar-benar dapat diakses dengan mudah, kami diberikan keleluasan untuk melihat sesuatu dari sumber sekaligus menyatakan pendapat sesuai dari apa yang diyakini.

Hampir lupa, aku belum menyebutkan PPMI, organisasi kemahasiswaan di Mesir ini sedikit banyak juga memberikan pengaruh pada mahasiswa di Mesir sendiri. Tidak jarang PPMI beserta organisasi yang terkoordinasi di bawahnya untuk menyemarakan dan mempromosikan budaya Indonesia. Kami di sini bisa membuat sanggar tari, perguruan silat dan bahkan hanya untuk sekedar nonton bareng Timnas sepak bola Indonesia bermain. Penanaman pendekatan budaya seperti aku sebutkan di atas tadi seakan menjadi ajaran tersirat yang telah difahami oleh mahasiswa asal Mesir itu sendiri.

Teman, mungkin kalian menunggu aku menyebut peran dari Al Azhar sendiri, kan? Aku rasa hal ini tidak perlu dibahas lagi, dunia telah mengetahui bagaimana Al Azhar mendidik anak-anaknya. Toleransi, moderasi, dan keseimbangan adalah di antara pokok ajarannya. Perannya di kancah dunia dalam menyelenggarakan dialog keagamaan dan merekonsiliasi agama Islam dan agama lainnya adalah contohnya. Namun aku dapat katakan itu bukan lah satu-satunya faktor, beberapa hal yang aku sebutkan di awal tadi adalah di antara faktor pendukung yang menjadikan mahasiswa Indonesia asal Mesir jarang yang memiliki sumbu pendek. Mereka senang untuk melihat sesuatu bersama, merangkul dan berdialog untuk memecahkan sebuah problematika keummatan.      

Kondisi keberagaman yang kami alami di Mesir ini sedikitnya memberikan alasan kuat mengapa mahasiswa asal Mesir lebih terbuka. Aku sendiri tidak mengatakan bahwa kawan-kawan yang menimba ilmu di dunia arab lainnya tidak terbuka, akan tetapi kenyataannya beberapa kawasan di dunia arab saat ini memang sedang kurang baik, baik karena perang saudara atau pun karena perang menumpas terorisme. Di lain sisi, jika terdapat satu negara aman, namun corak pemikirannya nampak terbatas dan kurang diberikan keluasan menelaah gudang literatur Islam. Kedua faktor tadi tidak kurang pasti akan memberikan pengaruh negatif bagi alumni-alumninya.

Jadi, kalau pembaca nemuin alumni Timteng asal Mesir masih suka marah-marah karena hal kecil, aku minta maaf ya, mungkin ngajinya bukan di Azhar, talaqqy ilmu-nya bukan sama masyayikh Al Azhar. Dan pastinya, dia jarang hang-out melihat indahnya Mesir!